Hari kedua perjalanan diawali dengan berbincang-bincang dengan beberapa pemuda, selain pertanyaan klasik, pemuda itu menceritakan tentang mantan pacarnya yang ada di Jogja, selain itu juga menyarankan untuk pergi ke Puh Sarang. Setelah surfing, ternyata Puh Sarang ini merupakan semacam tempat untuk upacara keagamaan. Karena saya bukan pemeluk agama tersebut jadi buat apa saya pergi ke sana. Beberapa saat setelah pemuda itu pulang (entah pergi ke mana lagi), tiba-tiba datang tukang ojek yang menawari untuk naik ojek (tentunya ditolak). Tukang ojek itu bercerita tentang hidupnya yang sulit, ia butuh uang untuk anaknya yang mau masuk SMK. Katanya butuh Rp20 juta, padahal ia hanya ada Rp 5 juta (kok mahal banget ya). Setelah itu aku berusaha tidur ditemani nyamuk dan suara tikus. Beberapa jam kemudian bapak dan ibu yang tadi kembali lagi dan tidur di dekatku. Akhirnya setelah menunggu dengan kebosanan (dan pantat yang panas), adzan Subuh pun berkumandang dan warung di dekat situ sudah beres-beres, langsung saja aku bermaksud melanjutkan perjalanan.
Bapak-bapak yang tadi memberi petunjuk arah untuk sampai ke Gunung Kelud. Dan si Bapak itu juga menggunakan sebuah kosa kata bahasa daerah yang juga digunakan di daerahku untuk memanggil “kamu”. Di kabupatenku pun Cuma di sekitar kecamatanku yang menggunakan kata tersebut, ketika aku sekolah di kota kabupaten dan menggunakan kata tersebut, teman-temanku malah tertawa menganggap ndeso, semenjak itu kata tersebut jarang kugunakan. Ketika bertanya dengan teman dari daerah lain pun kata tersebut tidak ada dalam kosa kata mereka. Antara Kediri dengan kabupatenku padahal jaraknya cukup jauh, lalu kata tersebut kok bisa sampai ke daerahku ya tanpa digunakan di beberapa daerah di antaranya. Waktu berangkat ini aku melihat penunjuk arah ke hotel yang ternyata berada di dekat alon-alon, tapi malamnya tak terlihat hotel karena tertutup penjual makanan.
Anak Gunung Kelud |
Perjalanan dilanjutkan dengan mengendarai motor pelan-pelan dengan maksud agar sampai Gunung Kelud sudah buka. Di sini untuk ke dua kalinya aku mengisi bahan bakar. Ketika melewati pabrik gula, tercium bau yang kurang sedap hasil sisa pengolahan (lagian pemutih gula menggunakan belerang). Perjalanan di awali dengan menuju kecamatan Wates (nama tempat ini ada di mana-mana) kemudian dilanjutkan naik menuju Kecamatan Ngancar dan menuju desa terakhir Desa Sugihwaras. Sesampainya di TPR, ternyata belum ada yang menjaga (lagian masih jam 6 kurang :p). Di dekat TPR terdapat rest area tapi tentu saja aku melanjutkan perjalanan yang ada. Jalan yang dilalui awalnya membelah perkebunan warga yang kebanyakan ditanami nanas. Jalan yang ada menanjak dan di beberapa tempat terdapat pasir dan lobang. Setelah beberapa saat, nantinya akan melewati hutan.
Beberapa kendaraan bahkan tidak kuat untuk sampai ke lokasi wisata gunung Kelud ini. Di titik terakhir ada yang menyewakan jasa ojek sampai ke lokasi tapi tentu saja waktu itu belum ada. Ketika berhenti untuk mengambil gambar, tiba-tiba muncul 4 orang wisatawan yang naik motor juga yang juga berhenti di tempatku berhenti, seorang bapak-bapak dengan seorang anaknya yang masih balita, dan dua orang pemuda (duh cowok semua). Karena aku sudah selesai beres-beres, aku akhirnya melanjutkan perjalanan naik. Di tengah jalan terdapat beberapa jembatan, ketika berhenti di tengah jembatan, ternyata bawahnya dalam sekali, namun tidak kelihatan karena tertutup puncak-puncak pohon. Dari jembatan ini juga sudah terlihat tempat parkir wisata. Setelah jembatan, jalan yang ada semakin menanjak, dan di ujung tanjakan nantinya terdapat gardu pandang yang bisa digunakan untuk melihat ke arah barat. Ada sebuah gardu pandang yang dilarang naik ke sana karena bawahnya sudah longsor.
Setelah beberapa saat kemudian ternyata oh ternyata gerbang masuknya masih tutup (wajar masih kepagian). Dari pada menunggu di tempat itu aku kembali ke lokasi gardu pandang untuk tiduran. Di tengah jalan aku melihat wisatawan lain yang datang (ada ceweknya). Sesampainya di gardu pandang ya hanya tiduran sambil berjemur. Di sekitar gardu pandang terdapat tiket masuk yang ternyata Rp 5000 / orang dan Rp 2000 / motor.
Tempat parkir dilihat dari jembatan |
Jam 8 aku kembali ke tempat tujuan, dan untungnya sudah buka. Tempat parkirnya masih sepi hanya ada 6 motor termasuk punyaku, dan yang satu milik petugas. Gunung Kelud ini terletak di perbatasan Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Malang. Terdapat pertikaian pemilik gunung Kelud antara Kabuapaten Kediri dan Blitar (kok Kabupaten Malang gak ikutan ya), bahkan ketika pemkab Blitar mau berkunjung, dihalang-halangi oleh warga daerah Kediri, bahkan pakai pertikaian polisi segala (Untuk ke Gunung ini jalannya hanya dari wilayah Kediri). Terlepas kepemilikannya, gunung ini menyajikan wisata yang cukup menarik. Tentu saja tempat yang paling menarik adalah kawahnya. Untuk menuju kawah kita harus melalui terowongan, namun waktu itu masih tutup.
Tempat menarik lainnya adalah Sungai Bladak. Sungai ini merupakan tempat saluran pembuangan air Gunung Kelud yang dibangun oleh Belanda (sejarahnya cari sendiri ya). Untuk menuju sungai ini kita harus menuruni ratusan anak tangga (tidak masalah, yang masalah adalah ketika naik kembali). Sesampainya di bawah, orang-orang yang sudah datang lebih awal sudah bermain air di sana (intinya orang-orang yang tadi ketemu). Karena dari kawah, sungai ini cukup hangat dan panas, dan mengandung belerang. Batu-batu sungainya pun berwarna kuning karena belerang ini. Karena sudah jauh-jauh (dan belum mandi) saya pun ikut bermain air, ketika tinggal saya sendiri, saya pun mandi di pancuran dengan semi buka-bukaan (tentunya gak memakai kemben dan bisa gawat kalo tiba-tiba ada pengunjung lain yang datang). Setelah selesai dan melihat ujung saluran pembuangan, saya pun naik kembali dengan susah payah. Waktu itu terdapat sepasang muda-mudi di sungai Bladak dan tidak ada orang lain di sana (waduh bisa gawat) bahkan sesampainya di atas tidak ada orang lain yang turun selain mereka. Terdapat penunjuk arah dengan tulisan “air panas anak G Kelud” dan ada bahasa Inggrisnya juga “hot river of Kelud baby” (-_-;).
Sungai Bladak |
Terowongan yang menghubungkan tempat parkir dengan kubah cukup panjang, mungkin sekitar 300 meter yang untungnya saat ini sudah ada penerangannya walau sebenarnya masih cukup gelap. Di dalam terowongan kadang terdapat ruang-ruang yang digunakan pekerja (zaman bahuelak) untuk istirahat, tapi sekarang kelihatan tergenang dan banyak sampah. Setelah keluar dari terowongan, bila ke kanan nantinya akan menuju ke Gunung Gajah Mungkur yang merupakan tempat panjat tebing. Bila ke kiri akan menuju ke kubah lava. Di kawah gunung Kelud ini tadinya terdapat danau kawah yang berwarna hijau yang airnya disalurkan ke sungai Bladak. Namun setelah letusan tahun 2007, danau tersebut menghilang dan digantikan oleh Kelud baby :p. Anak Gunung Kelud ini masih mengeluarkan gas dan pengunjung dilarang mendekatinya (padahal ketika lihat foto-fotonya fotografer di sana pengunjung malah pada berenang ketika masih ada danaunya).
Untuk mendekatinya kita harus menuruni tangga (tapi buat yang sudah malas, lihat dari atas juga gak terlalu beda jauh). Waktu itu terdapat kunjungan dari panti asuhan ke gunung ini, jadi di bawah sulit untuk mengambil foto (foto diri) karena anak panti asuhannya banyak. Lalu terbesit pikiran untuk naik ke gardu pandang tertinggi yang juga harus naik tangga (yang tentunya sudah membuat malas dahulu) untuk mengambil foto. Tak tahunya anak-anak panti asuhan itu juga pada ikutan naik (walah). Dibanding anak-anak tersebut tentu saja aku kalah cepat apalagi belum sarapan, belum tidur, bawa barang, dah capek naik dari sungai, panas, gak ada minum lagi, namun walau begitu tetap menjadi orang ketiga sampai di gardu pandang.
Gardu pandang Gunung Gajah Mungkur dan Gunung Sumbing |
Di gardu pandang ternyata ada jalan menuju ke puncak tertinggi, pengin sih, tapi gak ada waktu mana sudah setengah sebelas. Walau belum ada 1800 mdpl, ternyata di gunung ini sudah terdapat edelweiss, walau ukurannya masih kecil-kecil, padahal gunung-gunung lain biasanya di atas 2000 mdpl. Walau anak-anak panti, herannya mereka ada yang punya handphone yang ada kameranya (wow). Di atas ya kerjaannya nunggu mereka turun dan untungnya ada yang ngajak ngobrol. Ditanyai pertanyaan klasik lagi, tapi ditambah dikira masih SMA :p (masih muda ternyata), padahal mbaknya yang nanya baru aja lulus SMA (dianggap lebih muda :p). Setelah beberapa lama, akhirnya mereka turun dan akhirnya aku ikutan turun (setelah foto tentunya). Waktu turun benar-benar menyenangkan, bahkan sepertinya ada yang heran kok aku bisa cepat (mau bilang lari gak mungkin soalnya berupa anak tangga). Setelah ini aku melanjutkan perjalanan menuju arah Blitar.
Di daftar yang kubuat, tujuan selanjutnya adalah menuju candi Penataran. Jalannya sebenarnya bagus sih, tapi kadang terdapat jalan yang cukup menyeramkan. Di beberapa titik terdapat jembatan yang kanan kirinya tidak ada penghalangnya, memang sih tingginya paling dua meteran, tapi tetap saja ngeri apalagi jalannya agak bergelombang karena berupa cor-coran dengan ornamen (zzzzz) batu (mirip jalan macadam tapi dicor). Jembatannya sempit jadi harus saling menunggu karena lebarnya hanya cukup untuk satu truk kecil, dan tidak ada jarak antara jalan dengan pinggir jembatan (jembatan kan biasanya di sebelahnya terdapat trotoar lalu penghalang atau apalah namanya, na yang ini keduanya tidak ada sama sekali murni jalan saja).
Beberapa waktu kemudian sampai juga di wilayah Penataran, ternyata untuk lewat jalan tersebut perlu bayar retribusi (duh), dan tidak ada petunjuk mengenai lokasi candi tersebut (sudah malas mencari karena sudah kelamaan di Kelud) yang akhirnya melewati pos retribusi dari arah yang lain. Lagi-lagi ternyata candi itu letaknya agak masuk, hanya saja tidak kelihatan dari pinggir jalan, yang ada petunjuknya cuma kolam renang Penataran, dan candi yang terlihat cuma candi pemandian Penataran, sia-sia membayar retribusi. Akhirnya perjalanan dilanjutkan ke Blitar. Di tengah jalan ada cegatan polisi, padahal aku sudah pelan-pelan eh polisinya gak ada yang nyegat, ya nyelonong aja gak berhenti, padahal polisinya juga kadang dekat banget sama aku. Sesampainya di Blitar ya terus aja menuju ke arah Malang. Ketika melihat peta (setelah sampai kos) ternyata seharusnya aku melewati makamnya presiden pertama RI, tapi kok sama sekali gak melihatnya (zzzzz). Dan ketika melihat peta kabupaten Blitar dari situs resminya, kok kediamannya Anas Urbaningrum dicantumin di peta (gak penting banget).
Saluran pembuangan |
Jalan Blitar – Malang cukup lebar jadi bisa agak cepat. Kadang terdapat rel yang terletak di pinggir jalan, waktu itu ada kereta yang juga berjalan, tapi jalannya super lambat (mengingatkanku pada perjalanan ke Pulau Sempu yang naik kereta dari Surabaya yang penuh sesak dan lambat banget). Sesampainya di Wlingi (ibukota kabupaten Blitar), tidak ada petunjuk arah yang jelas, jadi di tempat ini aku keblabasan dan harus balik lagi. Akhirnya beberapa saat kemudian sampai di SPBU Selorejo. Di sini terdapat rest area sehingga aku istirahat beberapa jam sambil nge-charge hp, sayangnya rest areanya banyak debunya dan tidak ada sapunya.
Beberapa saat kemudian perjalanan pun dilanjutkan. Menurut saran seorang teman, sebaiknya aku mampir ke Karangkates, eh ternyata terdapat persimpangan yang keduanya menunjuk ke Karangkates, yang satu lurus yang satu ke kanan bawah. Ternyata yang lurus akhirnya ke kanan juga lewat di atas jalan yang satunya. Jalan tersebut lebar dan sepi dan akhirnya akan sampai di perbatasan Blitar – Malang di dekat waduk Lahor, dan untuk mobil sepertinya harus bayar retribusi. Di dekat waduk terdapat pos retribusi yang entah kok bayarnya cuma Rp 500, waktu itu tak terlalu terdengar bapaknya ngomong apa jadi langsung aja gak bayar (-_-;). Arah selanjutnya adalah menuju Kepanjen yang merupakan ibukota Kabupaten Malang. Dari Kepanjen perjalanan dilanjutkan ke arah Gondanglegi, seorang temanku tinggal di kecamatan ini. Kepanjen – Gondanglegi paling cuma 10 km, tapi angkotnya mahal banget, Rp5000 per orang, padahal di Jakarta aja lebih murah. Di sekitar Gondanglegi terlihat banyak penduduk yang memakai sarung seperti orang pesantren, entah kebetulan atau memang begitu. Sebenarnya ada niatan untuk mampir ke rekan di sana, tapi setelah sms yang bilang selamat melanjutkan perjalanan membuatku batal menyambanginya.
Selanjutnya adalah menuju Turen yang di sana terdapat PT Pindad yang dilanjutkan ke Dampit. Dari Dampit jalan yang ada sudah berkelok-kelok dan kadang melewati tanjakan, apalagi hari sudah gelap. Jalan yang ada cukup gelap karena tidak ada penerangan, teman perjalanan ya cuma truk-truk saja, jadi terpaksa berada di belakang truk, ditambah lagi bensin juga semakin menipis. Setelah beberapa lama akhirnya menemukan SPBU di Tirtoyudo (Malang) tapi agak malas karena berada di seberang jalan hal ini dikarenakan nanti malah kehilangan teman perjalanan (yaitu truk). Beberapa waktu kemudian sampai juga di Kabupaten Lumajang, dan mengisi bensin untuk ketiga kalinya di Pronojiwo sekalian istirahat sambil corat-coret. Di tempat ini melihat mobil yang sepertinya enak buat petualangan jadi pengin punya mobil seperti itu (tapi lebih ingin mobilnya keluarga tonberry secara tu mobil bisa buat di air) walau sebenarnya kurang tertarik dengan mobil karena sering mabuk kalau naik mobil (-_-;). Sepertinya kalau siang jalan yang tadi dilewati pemandangannya cukup bagus, karena bakalan kelihatan gunung tertinggi di Pulau Jawa, yaitu Gunung Semeru.
Perjalanan masih dilanjutkan dan kadang tidak ada teman perjalanan yang mau mendampingi. Di suatu titik, yaitu Piket Nol (namanya aneh) akhirnya jalan yang ada berupa turunan. Sebenarnya di tempat ini ada warung, pengin juga berhenti untuk sekedar makan tapi ya lanjut terus. Jalan turunan dari Piket Nol cukup membosankan karena jalannya berkelok-kelok dengan pinggiran tebing dan hutan serta jalannya gelap dan sepertinya yang dilihat tidak berubah, menyebabkan rasanya dah hapal medannya padahal baru pertama kali lewat jalan tersebut (-_-;).
Akhirnya setelah turunan sampai juga di tempat yang ramai, yaitu Kecamatan Pasirian, namun setelah lewat tempat itu, jalannya sedang diperbaiki, jadi banyak debu dan pasir berterbangan. Di tengah jalan ada petunjuk ke arah Jember jadi langsung saja melewati jalan itu daripada lewat Lumajang yang harus memutar terlebih dahulu tapi ujung-ujungnya aku malah pakai acara salah jalan segala. Jalan menuju Jember ternyata jalannya rusak banyak lubangnya, lubangnya gede-gede pula membuatku tidak bisa cepat-cepat yang akhirnya akan membaik setelah sampai di Yosowilangun. Setelah itu akhirnya memasuki Kabupaten Jember.
Memasuki kabupaten ini sudah mulai ada bibit-bibit ngantuk tapi pengin maksain tidur di lokasi tujuan saja yaitu Pantai Papuma. Perjalanan pun terbilang lambat walaupun jalannya sepi. Di beberapa titik terdapat perlintasan lori, jadi berpikir lorinya bisa dinaikin atau tidak. Perjalanan cuma dihiasi dengan pencarian masjid yang tidak berpagar agar bisa langsung masuk dan tidur di terasnya, namun walau sudah menemukannya tetap aja ditinggalkan. Akhirnya sampai di desa Puger yang merupakan desa nelayan, eh ternyata salah jalan, pantainya ada diseberang perbukitan sebelah timurnya puger. Kalau menurut google map versi map, terdapat jalan yang melewati bukit ini sampai ke Papuma, tapi tidak ditemukan jalan tersebut dan ketika dicek di kos dengan google map versi satelit ternyata jalan tersebut tidak ada tapi si google menganggapnya jalan (jangan 100% percaya dengan peta ya). Sehingga hal ini menyebabkanku harus melewati sawah yang gelap sendirian.
Terowongan |
Pada awalnya melewati selatan bukit yang ternyata tambang buat semen dan dilanjutkan terus ke arah timur terus. Gara-gara masih berpikir tentang peta google (saat itu masih belum tahu) jadi pikirannya mencari jalan ke selatan. Tapi karena dah capek kok gak nemu-nemu ya terpaksa ke timur terus. Sempat ke timur terus tapi malah salah jalan, padahal ada orang yang lagi kumpul-kumpul di depan, langsung kumatikan motor biar gak dikira aneh-aneh dan akhirnya memutar balik. Akhirnya beberapa saat kemudian menemukan surau di tengah sawah. Sempat berpikir untuk lanjut tapi dipaksakan untuk berhenti. Di dekat surau tersebut terdapat sumur dan bangunan yang entah ada penghuninya atau tidak. Suraunya juga agak kurang terurus pintunya juga terbuka. Setelah motor dikunci dobel, langsung saja tidur tanpa memikirkan apapun seperti ular atau apalah.
Perjalanan melewati sawah benar-benar minim cahaya sampai-sampai langit terlihat sangat indah dengan bertaburan bintang-bintang penghiasnya. Sempat juga teringat cerita waktu KKN yang mengatakan kalau jalan di sawahnya ada yang angker, haha emang gue pikirin (hehe).
6 komentar:
Sumpeh panjang banget, intinya ada di paragraf 3 - 10, kalau malas ngitung pokoknya di bawah gambar "anak gunung kelud" sampai di bawahnya gambar "gardu pandang n gunung gajah mungkur". Sisanya cuma penghias karena cuma berisi cerita perjalanan
jiaelaa, disms gitu aja akhire ora mampir.. ckck
btw, itu maksudnya 'sampeyan', 'rika', opo sing ndi Chul? Gak mungkin 'kon' sampe mlebu jawa tengah..
Eh, better di justify lho..
'saman'. sampeyan mah ana. niate ngunu juga.
Nek sms-e rene mampir tak keki salak (misale :p), ngko lak teka-teka wis teka.
thks sarannya
tes tes tes
byuh, yo haruse kan bilang dari awal nek sudah berniat mampir, biar bisa siap2 yang mau diampirin, lumayan kan nek entuk semangkok oskab malang ato apa gitu, ahahah
oskab ki apa....
pas iku antara pingin dan isin :p
Posting Komentar
Silakan bertanya sepuasnya, apabila ingin tahu lebih jauh silakan PM saya