Senin, 13 Desember 2010

Candi Sukuh

Candi Sukuh merupakan candi yang terletak di lereng Gunung Lawu. Secara administratif, candi ini terletak di Dusun Sukuh, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Kalau dari papan informasi yang ada di sekitaran candi, candi ini terletak pada 07o37,38'85" LS dan 111o07,52'65" BB (ada yang aneh dengan letak astronomis ini, silakan tebak sendiri). Seperti candi yang terletak tidak jauh dari candi ini, yaitu candi Cetha, candi ini juga berbentuk berteras-teras menyerupai punden berundak dengan candi utama berada di bagian paling atas / belakang. Saya pergi ke candi ini setelah sebelumnya ke candi Cetha. Saya kira jalannya menanjak seperti di candi Cetha, namun ternyata tidak begitu menanjak.
Salah satu relief di Candi Sukuh
Teras pertama berupa gapura berbentuk trapesium. Pada gapura ini terdapat relief raksasa yang diperkirakan merupakan suatu sangkalan (saya sulit menjelaskan apa itu "sangkalan" dengan tulisan, dan pastinya tidak ada hubungannya dengan menyangkal) yang berbunyi "gapura buta aban wong". Kalau mau naik ke teras selanjutnya, kita tidak bisa melewati gapura ini karena gapura ini ditutup. Alasan jalur lewat gapura ini ditutup karena di lantainya terdapat relief mesum berupa "p" dan "v" yang sudah tidak lagi dilambangkan dengan lingga dan yoni namun dalam bentuk aslinya (fotonya cari sendiri di google). Walau begitu masih ada kok yoni-yoni seperti biasanya.

Untuk teras kedua saya sudah agak lupa dengan apa yang ada di sana. Kalau dari papan informasi tertulis kalau di teras ini terdapat arca yang berwajah menyeramkan. Arca ini mirip dengan patung-patung yang biasa dibuat di depan pintu masuk suatu rumah, bangunan, atau kampung-kampung (lupa namanya).
Candi Sukuh
Teras ketiga berupa candi utama. Candi ini berbentuk piramid terpasung yang bisa dimasuki dan akan tembus ke atas. Candi ini mirip dengan candi suku-suku di Amerika Tengah walau bentuknya jauh lebih kecil dan tentunya tidak ada altar pengorbanan (yang ada adalah altar sesajen). Dari pintu masuk gapura di teras pertama hingga pintu masuk candi, terletak pada satu garis lurus. Relief-relief di candi ini detailnya masih cukup terlihat walau beberapa bagian kadang sudah tidak ada. Relief di candi ini beberapa terlihat lebih timbul dari candi-candi lain seperti di candi Borobudur dan terlihat seperti patung yang ditempel.

Relief lain
Seperti yang telah saya sebutkan di tulisan mengenai candi Cetha, candi Sukuh inilah yang saya maksud sebagai candi mesum. Kalau tidak percaya, ini beberapa hal yang menunjukkan kemesumannya:
  • Relief "p" dan "v" yang saling berhadapan di gerbang teras pertama (bayangkan sendiri apa maksudnya).
  • Relief-relief dan patung-patung yang kadang dibuat telanjang dan "anu"-nya kelihatan.
  • Terdapat patung (kepalanya dah gak ada), yang sedang memegangi "anu"-nya yang seperti menandakan sedang "o" atau "m" (patung kok gituan :p).

Rabu, 01 Desember 2010

Pantai Timang

Pantai Timang merupakan sebuah pantai yang terletak di desa Purwodadi, kecamatan Tepus, kabupaten Gunungkidul. Pantai ini terletak di dekat pantai Siung, namun akses jalan untuk menuju ke pantai ini lebih sulit daripada ke pantai Siung. Tidak ada yang begitu istimewa dengan pantai Timang ini. Pantainya seperti kebanyakan pantai yang berada di Gunungkidul yang berpasir putih, tidak cocok untuk berenang karena cukup dangkal sampai ke tengah apalagi jika sedang surut (tapi kalau cuma main air bisa saja). Ditambah pantainya cukup sempit tidak begitu lebar.

Pantai Timang
Medan yang harus dilewati untuk menuju pantai ini tidak mudah. Setelah melewati jalan beraspal khas daerah Gunungkidul yang naik turun dan sempit, selanjutnya adalah melewati jalan cor-coran yang dibagi menjadi dua buah jalur yang hanya muat untuk satu buah mobil. Setelah beberapa kilometer melewati jalan cor-coran (sekitar 1-2 km) yang akan berakhir di dusun terakhir (perkampungannya) maka akan ditemui jalan yang benar-benar bisa merusak kendaraan. Sebelum memasuki jalan tersebut, ada peringatan untuk mengutamakan selamat dengan lambang tengkorak di papannya (membuat serem aja).

Jalan terakhir yang harus dilewati adalah berupa jalan yang ditata dari batu. Jalan tersebut bukanlah terdiri dari batu-batu berwarna hitam yang sudah ditata dengan rapi, melainkan batu-batu karang (atau kapur ???) yang berwarna putih dan letaknya benar-benar tidak teratur (beberapa teratur kok, namanya aja ada yang membuat). Kalau jalannya lurus saja sebenarnya tidak masalah, yang menjadi masalah adalah ada beberapa bagian jalan yang jalannya menurun cukup miring ditambah adanya batu yang agak nongol di tengah dengan lokasi yang acak tak menentu. Hal tersebut semakin menjadi-jadi karena ditambah badan yang seperti jungkat-jungkit yang didorong oleh beban (teman yang membonceng) dari belakang.

Apa yang membuat saya untuk berkunjung ke pantai yang menurutnya biasa saja (maklum dah terlalu sering ke pantai-pantai di daerah tersebut) dan memerlukan pengorbanan yang cukup banyak? Sebenarnya yang saya cari bukanlah pantainya, melainkan pulau yang ada di dekat pantai tersebut. Ketika laut sudah terlihat, pulau yang dimaksud belumlah terlihat. Ketika sampai di tempat parkir pun (sebenarnya tidak ada tempat parkir, jadi parkirnya di ujung jalan yang ada) pulau yang dimaksud tetap tidak terlihat. Ketika naik ke puncak bukit terdekat yang ada tempat berteduh pun pulau tersebut tidak terlihat. Untuk melihat pulau tersebut haruslah lewat pantai (tapi kurang bagus) atau di sisi bukit (jangan langsung menuju ke puncak bukit kalau tidak mau capek).

Pulau Timang (saya sebut Pulau Timang walau sepertinya penduduk sekitar punya sebutan sendiri) merupakan pulau karang yang tandus yang cukup kecil. Kalau pulau karang yang kecil sih saya juga sering melihatnya, yang istimewa adalah adanya alat yang menghubungkan pulau Jawa dengan pulau Timang ini (walau sebenarnya masih bisa disebut bagian Pulau Jawa). Alat yang dimaksud bukanlah jembatan, tapi kereta (kursi) gantung yang mirip dengan yang ada di area permainan ski. Bedanya kalau yang ini digerakkan dengan tenaga manusia dan tingkat keamanannya sangat tidak terjamin.

Tentu saja ketika sampai di sini saya ingin segera menaikinya tapi bingung cara menggerakannya. Dicoba ditarik kok tidak bergerak, mencari-cari sesuatu yang bisa membuatnya bergerak kok tidak ada, terpaksa harus bertanya dengan orang yang ada di sekitar situ dan turun ke pantai. Di pantai terdapat ibu-ibu yang sedang mencari kayu. Ibu itu bercerita tentang mahasiswa UGM yang beberapa waktu sebelumnya KKN di tempat tersebut dan bercerita tentang mbak KKN (lupa namanya) yang katanya cantik, baik (katanya suka memberi baju dll yang dibawa dari rumahnya), dan mau makan tiwul. Ibu-ibu itu bercerita seolah-olah saya kenal dengan mbak-mbak tersebut dan membanggakannya (tidak seperti KKN saya :p).
Kursi Gantung

Setelah bertanya tentang kursi gantung, ternyata ya memang harus ditarik sendiri. Ibu itu juga menceritakan bahwa yang sering membantu menarik pernah jatuh dari atas tebing dan selamat bisa naik ke atas lagi. Setelah balik dan dicoba lagi ternyata memang bisa bergerak tapi dengan tenaga ekstra (berat). Karena benar-benar bisa digerakkan, saya meminta teman saya untuk membantu menariknya tapi tidak bersedia membantu karena takut terjadi apa-apa terhadap saya. Tapi karena ego saya yang masih besar, saya tetap memaksanya dan tetap tidak mau, sehingga diputuskan untuk menanyakan bapak penjaganya. Dan ternyata penjaganya bilang kalau kursi itu sudah rusak (menghancurkan harapan saya) kalau ditarik ke selatan terasa berat, memang katrolnya sudah berkarat (maklum terkena garam terus). Karena hal tersebut, terpaksa saya harus pulang :-(.

Walau bilang rusak, tapi karena rusaknya cuma karena berat untuk menariknya (tidak rusak beneran), membuat saya ingin ke sana lagi untuk benar-benar mencoba kursi tersebut. Kalau ingin pergi ke tempat ini siapkan kendaraan dalam kondisi prima dan berharap ban tidak bocor di jalan pantainya karena harus berjalan balik cukup jauh (anggap saja 4 km). Selain itu berharap juga tidak hujan atau sehabis hujan, karena batu-batu tersebut cukup licin (pas pulang saya kehujanan, untungnya sudah memasuki dusun terakhir walau jalannya masih berbatu-batu). Dan karena terlalu sering menjaga rem di jalan berbatu jari tangan saya sampai sulit untuk ditekuk buat ngerem.
Jalan menuju pantai