Senin, 29 Juli 2013

Tour de Jatim, Day III, Part II: Kalibaru - Alas Purwo



Ternyata perjalanan geje ke Jatim dah dilewati lebih dari dua tahun dan sambungan ceritanya gak juga diketik -____-;). Kalo mau baca sebelumnya mungkin dah lupa bisa baca di hari 1, hari 2, dan hari 3 bagian I. Oh dan karena harus memory mining, jadinya gak bisa detail ceritanya

Ok, cerita berlanjut dimulai dari habis sholat Jumat di masjid Kalibaru. Berdasarkan rencana, tujuan selanjutnya adalah pantai Pulau Merah di kecamatan Pasanggaran, dan seharusnya berbelok pas di Kecamatan Glenmore (tahunya beloknya di sini) malah keblabasan sampai Banyuwangi yang jaraknya sekitar 60 km dari Glenmore -__-;). Yah karena waktunya juga dah hampir sore, terpaksa langsung tancap gas ke Alas Purwo saja dengan tujuan utama G-Land / Plengkung.
Gerbang TN Alas Purwo
Rute Alas Purwo
Untuk ke Alas Purwo, dari Banyuwangi ambil jalur ke selatan (gampangnya kalau ada petunjuk ambil ke arah Jember), nanti bakalan lewat kecamatan Kabat sama Rogojampi. Di Rogojampi terdapat pertigaan (pertigaan banyak kali), pokoknya ambil ke Selatan atau lurus gampangnya sampai Srono yang nanti bakalan ada petunjuk arah ke Alas Purwo, yaitu belok ke kiri. Ambil jalan itu terus sampai Muncar, belok kanan dan nanti bakalan masuk kecamatan Tegaldlimo yang jalannya waktu itu aduhai (intinya ikuti petunjuk, kalau bingung tinggal tanya :p), ingat ini dua tahun lalu.

Singkatnya setelah sampai Kendalrejo, desa terakhir sebelum Alas Purwo, jalanan bakal menjadi full jalan tanah dengan kanan kiri hutan, kira-kira 20 km sampai masuk gerbang selamat datang. Habis itu bayar retribusi (dah lupa berapa) dan nunjukin KTP, selanjutnya terserah mau ke mana, ikuti saja petunjuk yang ada. Karena sudah sore ya saya langsung menuju tujuan utama, G-Land.
Rambu-rambu di Taman Nasional
Pantai Trianggulasi
Di jalan menuju G-Land, terdapat petunjuk jalan ke arah pantai Trianggulasi, ya karena dekat, mampir sebentar deh. Oh iya jalan di sini sudah aspal dan lumayan mulus.
Di pantai Trianggulasi ini sepi banget (cuma ada saya -___-;). Pasir pantainya putih dan banyak jejak kaki binatang. View-nya luas berupa pantai yang memanjang di teluk Grajagan dan tentunya laut dong. Di pantai ini juga ada bangunan yang sepertinya buat menginap, tapi sepi-sepi aja tuh.
Bangunan di pantai Trianggulasi
Pantai Pancur
Balik lagi ke jalan yang benar, skip skip sampailah di Pancur. Di Pancur ini lebih hidup dari pantai sebelumnya, ada masjid dan pos jaganya juga. Pas parkir motor buat sholat, langsung didatangi petugas, "Mau ke mana? Mau ke Gua? Oh Plengkung, kendaraan cuma sampai sini, jalannya rusak, kalau mau jalan 10 kilometer, nggak mau kan...", dan harapan saya ke Plengkung pun berakhir.... -__-;). Sebenarnya mau-mau aja, tapi kan saya harus lanjut ke tujuan selanjutnya, apalagi ini sudah sore, kalau di tengah jalan ketemu banteng pas gelap... belum di sana penginapannya mahal banjet walau sebenarnya saya bawa uang yang cukup (tapi ngapain). Walau beberapa waktu kemudian saya lihat motor penduduk yang lewat jalan ke arah Plengkung.

Sebenarnya untuk ke G-Land, kalau gak mau jalan bisa sewa mobil, tapi saya kan sendiri, pengunjung lain juga cuma di Pancur. habis itu saya memutuskan nggalau sampai matahari terbenam -___-;)

Berbeda dengan Trianggulasi, pasir pantai di sini lebih kehitaman, Kalau soal pemandangannya sih gak begitu beda, yang berbeda cuma terdapat sungai kecil  dengan batuan kapur di alirannya.

Ketika sedang galau, tiba-tiba datang hiburan berupa seekor rusa yang sedang main ke pantai mau menikmati matahari terbenam (halah). Dan setelah matahari tenggelam di balik awan, langsung sholat dulu dan lanjut balik ke Banyuwangi melewati jalan yang gelap dengan penerangan hanya dari lampu motor saya. Sebenarnya sempet deg-degan juga sih, karena sebelumnya baca di inet kalau pas lewat jalan sekitar situ malam hari ada seekor banteng yang rebahan, tapi untungnya tidak terjadi apa-apa.
Sungai di Pancur
End of Day
Tujuan berikutnya adalah menuju Kawah Ijen. Setelah sampai Banyuwangi saya cari petunjuk arah ke Kawah Ijen tapi gak nemu-nemu, setelah muter-muter akhirnya makan dulu di Ketapang setelah gak maem selain makanan ringan :p. Skip skip skip, akhirnya petunjuknya lihat juga, ternyata tu petunjuk jalannya ketutup sama pohon, wat wet wut menyusuri jalan sepi, akhirnya sampai di kecamatan Licin...
Seekor rusa yang sedang menikmati senja

Tsuzuku...

Telaga Warna - Cincin yang Jatuh, Selendang yang Luntur


Hehe tulisan males-malesan yang infonya dah buanyak banjet bertebaran di inet, makanya gak perlu dicritain bagus-bagus :p. Telaga Warna, bagi yang pernah ke Dieng pastilah tahu, secara ni tempat merupakan salah satu tujuan utama di Dieng selain Candi Arjuna dan Kawah Sikidang apalagi bagi yang one day trip.

Telaga Warna terletak di desa Dieng, kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, ato kalo secara astronomis pada -7.2119444444, 109.9169444444.
Telaga Warna dan Telaga Pengilon
Get There
Info gak penting lagi. Sebenarnya kalau dah ke Dieng pasti nemu, saya kasih tau rute ke Dieng aja deh bagi yang gak tahu (tidak bisa ngomong semua orang tahu rute Dieng). Jalan paling enak ke Dieng ya lewat Wonosobo, yang dari Jogja bisa lewat Temanggung - Parakan - Kertek atau lewat Borobudur - Salaman - Sapuran - Kertek. Sampai Wonosobo tinggal cari alun-alun dan pokoknya ambil jalan ke utara, pasti sampai Dieng, tapi sayangnya nih jalur kalau longsor ya mobil gak bisa lewat.

Rute alternatifnya lewat Banjarnegara, tapi lebih jauh, lebih dari 60 KM (Tergantung asalnya dari mana juga kali), kalau dari Wonosobo cuma 30 KM. Dari Banjarnegara ambil jalur ke Karangkobar - Wanayasa - Batur - Dieng, atau kalau pengin lewat jalan jelek, dari Banjarnegara - Madukara - Pagentan - Pejawaran - Batur - Dieng. Kalau dari Semarang bisa lewat Temanggung atau lewat Kendal - Weleri - belok ke Sukorejo - Candiroto - Muntung (di sini ambil lurus terus jangan ikuti jalan besar, lebih cepet daripada muter lewat Parakan)- Sigedang - Tambi - Kejajar - Dieng. Dari Pekalongan ambil ke Petungkriono - Wanayasa - Batur -Dieng. Kalau dari Batang ambil jalur ke Blado - Batur - Dieng ato lewat Bawang juga bisa. Hm kurang dari mana lagi ya.... :p.
Angkot banyak kok, dari Wonosobo cari tujuan Dieng atau Batur lah.

Kalau dah sampai Dieng mau ke Telaga Warna nanti belok kiri, atau lihat petunjuk arah di jalan, nanti bakalan nemu loket retribusi yang hampir selalu tutup dan ada jalan masuk di sana yang gak resmi (belum pernah masuk lewat sana, kadang ada yang njaga kadang kagak) dan beberapa puluh meter kemudian barulah pintu masuk resminya. Pintu masuk lainnya bisa lewat Dieng Volcanic Theatre (kayaknya cuma bayar parkir, tapi bakal capek balik lagi), dan kalau mau gratis semuanya bisa lewat jalan peladang :p

Ada Apa Di Sana
  • Telaga Warna, Telaga Warna ni warnanya ijo dan perubahannya pun seputar ijo - biru, agak gelap, terang, atau gimana lah. Oh di suatu sisi ada tempat keluarnya gas, maklum, sebenarnya Telaga Warna ini kan danau kawah, dan di suatu sisi yang tersembunyi ada semacam getek (kayaknya gak digunain). Pas dekat keluarnya belerang hati-hati ya, nanti seperti saya, karena ada bagian yang jemek, dengan entengnya saya injak, walhasil, sandal saya nyangkut.
  • Telaga Pengilon, sebenarnya dulu masih nggabung sama Telaga Warna, hanya karena sedikit sekat, jadilah telaga lain, dan warnanya pun beda. Kalau mau ke sini, dari telaga warna cukup mutar saja, tapi kalau mau mutar kedua telaga ini satu putaran penuh, jalannya nanti ada yang agak becek, dan kalau salah ambil jalan, bisa seperti saya lagi, terperosok ke lumpur sandal nyangkut di kedalaman 60 cm -____-;)
  • Gua-Gua, ada banyak gua, Gua Semar, Pengantin, Sumur, dan Gua Jaran, tapi menurut saya gak begitu menarik karena lebih terlihat seperti cerukan dan sepertinya buat bertapa. Beberapa gua ada yang dipagari, saya juga gak tertarik masuk, tapi mungkin buat menghindari vandalisme. Lokasi gua-gua ini ada di antara kedua telaga (sekatnya).

    Di depan Gua Semar
    Retribusi
    Masuk Rp 6000/orang, parkir Rp 2000/motor, mobil kagak ngerti, tiket terusan Rp 20000/orang. Kalau mau gratis seperti yang saya bilang, lewat jalan peladang (gak perlu saya kasih tahu, kasihan pemdanya :p)

    Best Spot
    Menurut saya, daripada melihat ni telaga dari dekat, saya lebih senang melihatnya dari atas yang bisa melihat kedua telaga sekaligus. Kalau melihat lokasi sekitar telaga, telaga ini dikelilingi bukit-bukit, nah lihatnya ya dari sekitar bukit-bukit itu, tapi milih yang gak ketutup pohon ya, ato dari Igir Binem aja.
    Tempat keluarnya gas
    Ending
    Sebenarnya mo nampilin fotonya aja (cuma 3 biji -___-;), yang lainnya mah infonya dah bersliweran di mana-mana :p. Oh mengenai judulnya itu mengenai legenda warna di Telaga Warna, dan kok saya nemu legendanya lebih dari satu ya....

    Jumat, 19 Juli 2013

    Tugu Legetang - Menghilang dari Peta


    Apakah ada yang tau cerita tentang dukuh Legetang? Banyak kok ceritanya bertebaran di inet. Dukuh Legetang terletak di desa Pekasiran, kecamatan Batur, kabupaten Banjarnegara, masih berada di wilayah pegunungan Dieng – Petarangan. Secara astronomis terletak pada 7.19416667S, 109.8652778E. Legetang merupakan tragedi terbesar yang melanda daerah Dieng melebihi peristiwa gas beracun kawah Sinila yang lebih tersohor daripada peristiwa Legetang. Inti ceritanya adalah mengenai dukuh yang diazab dengan longsoran dari gunung dengan suatu keanehan di mana keadaan longsoran yang tidak masuk akal.

    Get There
    Jarak dari kompleks wisata Dieng (Arjuna, Sikidang, Warna) menuju tugu Legetang tidak begitu jauh, cuma beberapa kilo. Jalannya pun masih sejalur dengan jalur menuju Kawah Sileri, Kawah Candradimuka, dan Sumur Jalatunda. Kalau pernah ke Dieng tapi gak sampai tiga tempat tersebut begini petunjuknya, dari Dieng (gampangnya gapura perbatasan Wonosobo - Banjarnegara) menuju ke arah Banjarnegara, Batur, Wanayasa, dll. Sedikit kilo kemudian bakalan nemu pertigaan berbentuk Y, ambil jalur yang menurun, yang kanan, kalau kiri bisa juga tapi mutar jauh (ke kiri jalur ke telaga Merdada), nanti bakalan lewatin telaga Sewiwi, pertigaan arah Kawah Sileri, lalu perkampungan desa Kepakisan.

    Setelah dari perkampungan, nanti di sebelah kanan bakal terlihat sungai, nah kalau sungai dah mulai terlihat coba lihat agak ke kanan atas ke arah gundukan bukit (bukan bukit yang jauh tapi yang dekat, dan jangan keterusan, lihat jalan juga :p), kalau cerah tugunya bakal kelihatan. Habis itu bakal lewatin jembatan sungai yang tadi, habis jembatan perhatikan ada jalan yang menuju ke atas di sebelah kanan, ambil jalan itu naik terus sampai lihat tugunya di sebelah kanan, tinggal parkir dan sedikit jalan. Oh iya sebenarnya jalan makadamnya cukup buat mobil (1 buah, kalau ketemuan berabe), tapi pas saya ke sana ada palang di jalur masuknya yang digembok, ya mungkin buat mobil cuma sampai bawah. Buat kendaraan umum gak ada ya yang lewat daerah situ, soalnya lewat jalur satunya.
    Tugu Legetang berlatar gunung Pengamunamun

    Ada Apa Sih Di Sana?
    Di sana cuma ada tugu tua di tengah-tengah ladang, gak ada yang lainnya, cuma bisa lihat pemandangan :p. Lumayan sih bisa lihat pemandangan gunung Nagasari (kalau cerah), atau gunung Pengamunamun dan gunung Jimat, atau celahnya yang misterius :p. Oh iya sebenarnya di tugu ini terdapat tulisan (kayaknya sih, lihat di foto kaya gitu), tapi pas saya ke sana sudah gak ada. Begini isinya:

    “Tugu peringatan atas tewasnja 332 orang penduduk dukuh Legetang serta 19 orang tamu dari lain-lain desa sebagai akibat longsornja gunung Pengamun-Amun pada tg.16/17-4-1955”

    Sebenarnya ada yang berbeda antara tulisan di tugu ini dengan monumen yang ada di pertigaan ke kawah Sileri, pada monumen tersebut jumlah korban meninggal 450 orang, beda sekitar 100 orang dengan yang ada di tugu, yang benar entahlah. Katanya sih warga dukuh yang selamat cuma 1 orang karena lagi gak di rumah, dan sekarang dah meninggal.

    Walaupun di bawahnya tekubur satu dusun dengan segala isinya termasuk penduduknya, namun saat ini bagian atas sudah berubah jadi ladang.
    Puncak Pengamunamun yang ikut longsor (katanya)

    Retribusi
    Gratiiiiiissss, lagian kan bukan tempat wisata :p

    Sedikit Investigasi :p
    Mungkin ada yang berpikir kalau cerita tersebut gak benar-benar terjadi atau mungkin dilebih-lebihkan dengan bumbu-bumbu yang bikin ngeri, kalau begitu baca sedikit uraian investigasi saya :p. Sebagai info, saya cuma mbandingin dengan peta tahun 1922 dan 1943 dengan keadaan saat ini dan peta dari BNPB yang berdasar dari peta RBI.


    Peta 1922
    Pertama, dukuh Legetang benar-benar ada di tempat di sekitar tugu tersebut. Di peta baik tahun 1922 dan 1943 terdapat daerah Legetang di lokasi yang ada di dekat tugu tersebut (agak ke utara).

    Kedua, terdapat sungai antara gunung Pengamunamun dengan dukuh Legetang sebelum terjadi longsoran yang terlihat pada peta. Perlu diingat, dalam keanehan yang ada adalah sungai tersebut tidak terkena dampak longsoran (logikanya sungai juga terkena longsoran kan) dan pas saya lihat saat ini memang ada sungai kok di sana, tapi emang gak besar, kalau gak percaya lihat aja di google earth :p. Saya bandingin dengan peta dari BNPB bentuk aliran sungai juga mirip.
    Peta BNPB
    Ketiga, tinggi gunung Pengamunamun pada peta 1922 dan 1943 adalah 2173 mdpl, sedangkan peta BNPB adalah 2175.71 mdpl. Jika melihat hasil ini dengan mempertimbangkan kesalahan pengukuran dan perbedaan peralatan karena zaman, maka dapat disimpulkan bahwa tinggi gunung Pengamunamun tidak terdapat banyak perubahan. Disebutkan bahwa di dekat tugu terdapat puncak gunung Pengamunamun yang ikut terbawa longsoran tetapi jika dilihat dari perbandingan tersebut, gundukan tersebut bukanlah puncak (tertinggi) gunung. Hal ini dapat membuat dua hipotesis baru, yang longsor bukan gunung Pengamunamun atau longsoran cuma dibagian lereng hingga tempat yang terlihat seperti puncak dari bawah walau bukan puncak tertinggi.

    Keempat, bentuk kontur. Sayangnya saya sulit buat mbandingin kontur peta lama dengan peta BNPB -___-;). Yang terlihat beda paling bentuk lekukan konturnya, peta dulu cukup detil meliuk-liuk khas gunung sedangkan peta BNPB tidak terlalu meliuk-liuk -___-;), cuma pas lihat dari google earth terdapat semacam cerukan di gunung pengamunamun yang tidak melambangkan kontur dari peta. Tapi mengingat daerah Dieng merupakan daerah dengan tingkat erosi tinggi jadinya entah itu cerukan kapan terjadi.
    Foto Udara Google Earth
    Investigasi selesai dengan kesimpulan terserah pada diri masing-masing :p. Yang pasti Legetang telah menghilang dari peta. Intinya jangan terlalu mempercayai apa yang saya utarakan karena saya juga belum lahir di zaman itu :p. Oh iya di dekat Legetang terdapat gua Djimat yang terkenal mematikan, tapi sebelah mana saya kurang tau, dan sering juga disebut lembah kematian yang sampai bisa mengawetkan mayat selama 2 tahun. Dan investigasi berakhir menggantung.....

    Dusun yang Hilang
    Selain Legetang, di sekitar Dieng ternyata banyak dusun yang saat ini sudah tidak ada entah apa yang terjadi padanya. Beberapa dusun yang dulu pernah ada antara lain Kapucukan, Timbang, Kepakisan Lor, Sidolok, Gajahmungkur, dan Pagerkandang. Telaga-telaga di Dieng pun beberapa sudah menghilang, mungkin mengering dan akhirnya jadi ladang penduduk tanpa kembali lagi seperti telaga lumut dan terus. Dia yang hilang dia yang terlupakan.....