Kamis, 13 Juni 2013

Candi Abang – Candi atau Bukit?


Lagi kurang inspirasi dan sebenarnya agak malas ngepos, makanya kali ini ngetik tentang tempat yang dah sering dikunjungi orang :p. Kalau mencari di mesin pencari tentang candi Abang pasti dah banyak banget bertebaran infonya, makanya ini termasuk lagi malas ngepos -____-;)

Get There
Candi Abang terletak di dusun Blambangan, desa Jogotirto, kecamatan Berbah, Sleman. Secara astronomis berada pada 7.80127777S, 110.4686111E . Karena tidak berada di dekat jalan utama dan minimnya petunjuk, candi ini jarang dikunjungi orang yang berasal dari luar Jogja. Candi ini menjadi salah satu tujuan favorit para goweser apalagi pada minggu pagi. Sebenarnya ada banyak jalan untuk ke candi ini, saya jelaskan dua yang paling gampang dimengerti. 

Jalan yang pertama bagi yang berasal dari arah Jogja. Dari Jogja tinggal menuju ke fly over Janti lalu ke arah selatan sampai perempatan lampu merah JEC (yang sebelah kirinya ada rumah sakit), lalu belok ke kiri pertigaan belok kanan, perempatan belok kiri, intinya jalan ke timur sampai selatannya kompleks Adi Sucipto. Terus ikuti jalan sampai tugu di pertigaan Berbah, terus pabrik, perempatan lurus, belak belok ikuti jalan, kuburan, jembatan, perempatan belok kanan ikuti jalan yang bagus, lalu ada tikungan dan lihat di depan ada sebuah bukit. Bukit di depan itu yang menjadi lokasi candi Abang. Masih lurus sampai sebelah kiri bener-bener dah terlihat bukit tersebut. Lihat ke kiri baik-baik kalau ada jalan cor-coran langsung belok ikuti jalan menanjak sampai lihat di sebelah kiri ada semacam jalan yang nggak banget, ikuti jalan tersebut dan sampailah ke Candi Abang.
Candi atau Bukit?
Jalan yang kedua bagi yang dari arah Prambanan. Dari Prambanan di lampu merah sebelum kali, ambil jalan ke kiri ke arah Ratu Boko / Piyungan. Ikuti jalan ke selatan, lewati rel, terus saja lewati bukit Boko, terus lurus terus sampai lihat petunjuk ke kanan ke arah Berbah di suatu perempatan (sepertinya ke kirinya gak ada petunjuknya karena jalan kecil). Nanti bakal nemu lapangan, terus belok kiri, lalu kanan dan di depan bakalnan nongol bukit. Lihat jalan cor-coran yang terlihat menanjak lalu ikuti seperti petunjuk sebelumnya. Demikian petunjuk sederhana njlimet dari saya -___-;)


Untuk kendaraannya sendiri hanya bisa menggunakan kendaraan pribadi, kendaraan umum tidak ada trayek lewat sini :p. Kendaraan umum paling arah Prambanan – Piyungan yang katanya sudah jarang lalu ditambah jalan kaki. Paling disaranin pakai roda dua, kalau roda empat nanti parkir di sekitar jalan cor-coran, kalau masuk jalan jeleknya mungkin bakalan susah, tapi kalau mau coba ya silakan (nggak tanggung jawab :p).

Jalan jelek di sini berupa batuan kapur yang bercampur tanah. Jadi jika hujan tu tanah jadi lumpur dan jalannya jadi makin licin. Dan bentuk jalannya juga tidak rata, bakalan ada sedikit tanjakan-tanjakan kecil yang aduhai :p. Kendaraan yang ada bisa sampai persis di bawah candi tapi mungkin agak bersusah-susah, bahkan sepeda bisa sampai atas kok :p.

Inti Cerita
Bagi yang pertama kali lihat, baik langsung atau dari foto, tidak bakalan mengira kalau objek yang dilihat adalah sebuah candi. Candi Abang ini lebih mirip bukit daripada candi, hal ini dikarenakan candi tersebut sudah tertutup rumput. Mengapa diberi nama candi Abang? Hal tersebut dikarenakan candi ini tersusun dari bata merah tidak seperti candi-candi lainnya di sekitaran Jogja yang disusun dari batu Andesit. Menurut data yang saya baca dari dinas purbakala, candi ini dibangun sekitar abad 9 sampai dengan 10 Masehi. Candi ini merupakan candi Hindu, dikarenakan waktu ditemukan, ditemukan pula lambang dewa Syiwa.

Candi ini lumayan asyik buat piknik apalagi pas rumputnya sedang terlihat hijau. Karena banyak rumputnya juga di tempat ini menjadi tempat penggembalaan kambing warga sekitar, jadi hati-hati melangkah karena banyak pup-nya :p. Ketika musim kemarau, rumput-rumputnya terlihat menguning dan makin cocok kalau disebut candi Abang. Dari atas candi bisa terlihat kota Jogja nun jauh di sana, bukit bintang, gunung Merapi, gunung Nglanggeran, dll. Mau lihat sunset juga bisa, tapi hati-hati baliknya, jalannya gelap. Nah jika melihat bentuk ni candi, di atasnya bakalan terlihat cekungan, tu cekungan sebenarnya adalah bekas pengrusakan, hal ini dikarenakan di dalam candi ini diperkirakan tersimpan harta, dirusak deh oleh orang yang pengin untung sendiri.

Jika mampir ke candi Abang, bisa sekalian mampir ke Gua Sentono yang ada di dekat jalan masuk ke jalan cor-coran, karena semua ini GRATIS!!! FREE!! FREE! FREE.... -____-;)
Abang atau Ijo?
Demikian tulisan gak niat saya, uh kok jadi lumayan panjang ya, padahal inti ceritanya seiprit -_____-;)

Kamis, 06 Juni 2013

Museum Trinil – Trinil Menantang Dunia (Nasibmu Kini)

Trinil, merupakan suatu kawasan yang sudah terkenal di dunia perfosilan dunia. Di Indonesia pun nama ini selalu muncul di suatu bab pada pelajaran sejarah. Trinil sendiri merupakan suatu nama daerah yang mencakup tiga desa, Kawu, Ngancar, dan Gemarang.

Sudah lama saya ingin menginjakkan kaki di Trinil. Rencana pertama gagal karena tidak melihat petunjuk arah ke lokasi dan sudah mengantuk setelah nggeje di Madiun. Rencana kedua juga gagal karena sudah siang dan lebih memilih Sedudo di Nganjuk sebagai tujuan. Beberapa kali setelah itu juga gagal dengan berbagai alasan -____-;). Namun akhirnya kesampaian juga ke museum Trinil setelah malam sebelumnya tidur di SPBU Tunjungan dan mampir di monumen Soerjo serta benteng Van Den Bosch buat nunggu waktu museum buka.
Gading di depan museum
Get There
Museum Trinil terletak di dusun Pilang, desa Kawu, Kedunggalar, Ngawi. Secara astronomi terletak pada 7.37444444S, 111.35805556E. Untuk menuju ke lokasi sebenarnya tidak terlalu sulit. Dari arah Jateng tinggal ikuti jalan raya menuju Ngawi melewati monumen Soerjo lanjut terus hingga lihat SPBU di kanan jalan, ciri-ciri SPBU-nya musholanya lumayan besar dan letaknya di belakang membentuk bangunan sendiri (mana kelihatan dong :p). Dari sana masih dilanjutkan lagi tapi sambil perhatikan jalan dan petunjuk. Intinya adalah belok ke jalan aspal pertama yang mengarah ke utara dari sana. Kemudian ikuti tu jalan hingga museum. Kalau dari Ngawi tinggal ke arah Jateng beberapa km, 15 km an gitu kalo gak salah (duh lupa). Kalau mo naik angkot juga gampang, banyak bis juga, tapi daerah tempat turunnya gak tahu namanya, nanti lanjut naik ojek atau jalan kaki 3 km :p.

Cerita Dimulai
Museum Trinil dibangun pada 20 November 1991, cikal bakalnya diprakarsai oleh Wirodihardjo yang menyimpan temuan fosil di rumahnya. Wirodihardjo juga dikenal sebagai Wirosablengbalung. Sebelum masuk kawasan, kita mengisi buku tamu dulu dan bayar retribusi (berapa ribu gitu). Ketika saya lihat buku tamu, yang berkunjung sebagian besar malah warga Kawu -___-;). Dari luar akan langsung tampak pendopo yang pada waktu saya berkunjung sedang digunakan oleh anak SMP latihan alat musik dengan lagu Yamko Rambe Yamko.

Patung replika gajah
Pertama lihat di halaman museum, yang menarik perhatian adalah patung gajah, yang ternyata replika dari Mastodon atau Stegodon ya... duh lupa, yang berdasarkan penemuan gadingnya. Di halaman museum juga ada tugu yang menarik yang lokasinya di bagian belakang dekat Bengawan Solo. Tugu tersebut merupakan tugu peninggalan Belanda yang berisi petunjuk tempat lokasi ditemukannya Pithecantrophus erectus, yang terletak 175 meter dari tugu tersebut pada tahun 1893 hingga 1895. 
Tugu peninggalan Belanda
Di depan gedung museum terdapat dua replika gading gajah yang membentuk gerbang yang mirip dengan yang ada di Sangiran. Memasuki museum suasana yang ada terasa suram, ruang diorama cuma sebuah dan dengan pencahayaan seadanya. Hampir semua tulisan-tulisan keterangan yang ada terlihat sudah memudar dan tua. Waktu itu yang ada di museum cuma saya dan bapak penjaga, beberapa saat kemudian ada sekeluarga yang hanya foto-foto dan langsung keluar dan bapak penjaga juga keluar -___-;). Koleksi-koleksi di sini terkesan sedikit, yang paling menarik perhatian paling gading gajah dan diorama Pithecantrophus erectus, padahal bapak penjaga ngomong kalau masih sering ditemukan fosil terutama musim kemarau waktu debit Bengawan Solo sedikit. Ternyata temuan-temuan tersebut teronggok di gudang -___-;).

Jika melihat miniatur kompleks, seharusnya terdapat tempat cinderamata, tapi ya gak ada yang jualan juga. Sebenarnya yang paling saya inginkan adalah melihat fosil Pithecantrophus erectus yang menjadi ikon Trinil, eh ternyata yang ada hanya replika dan aslinya ada di Belanda. Jika dibandingkan dengan Sangiran, museum ini rasanya tidak ada apa-apanya. Museum Sangiran yang sekarang sudah sangat WoW sejak saya pertama berkunjung dengan segala pembenahannya dan Museum Trinil yang sepertinya tidak pernah berubah sejak pertama dibangun dengan kesan suramnya, sepertinya juga mempengaruhi jumlah pengunjung yang ada dan terlihat mencolok di antara keduanya. Mungkin hal ini juga dipengaruhi status Sangiran sebagai World Heritage juga.
Diorama P.e
Trinil sebagai tempat ditemukannya P.e sebagai klaim para penganut teori Evolusi mengenai missing link yang diangkat namanya oleh Eugene Dubois sebagai sang penemu fosil dan muncul di buku-buku sejarah, oh nasibmu kini.....