Jumat, 25 Januari 2013

Gunung Sindoro via Sigedang



Gunung Sindoro / Sundoro merupakan gunung yang terletak di kabupaten Temanggung dan Wonosobo. Gunung yang mempunyai tinggi 3136 mdpl ini mempunyai beberapa rute pendakian, seperti rute Kledung yang paling sering dilewati, rute Bansari, dan rute Sigedang. Karena sudah beberapa kali lewat rute Kledung, pada pendakian kali ini saya mendaki gunung Sindoro dari Sigedang (padahal ndakinya dah lama, dah tahun lalu XD). Sigedang sendiri merupakan nama desa yang terletak di kecamatan Kejajar kabupaten Wonosobo (masih satu kecamatan dengan Dieng).

Untuk menuju Sigedang, paling gampang ya dari Wonosobo ambil arah Dieng, terus belok ke Tambi naik terus sampai Sigedang. Kalo naik angkot ya naik angkot jurusan Wonosobo – Dieng turun di Tambi kemudian naik ojek atau mobil bak terbuka atau sekalian jalan :p. Sebenarnya ada jalan pintas bagi yang berasal dari sebelah timur gunung ini, yaitu lewat Jumprit tapi kalo belum biasa lewat lebih baik lewat Wonosobo saja. Sebenarnya tempat perijinan tidak hanya di Sigedang saja, tapi juga ada di Sikatok, dusun di atasnya (masih masuk Sigedang juga kok). Jika titik awal pendakian dari Sigedang maka perlu menyusuri jalan aspal yang ada hingga ke daerah kebun teh, tapi kalo dari Sikatok ya jaraknya lebih dekat untuk sampai sini.

Gunung Sindoro dari kebun teh
Pendakian kali ini hanya beranggotakan 3 personil, personil S, saya, dan personil M. Karena kami belum ada yang pernah lewat rute ini, ketika sampai di Sigedang sempat kebingungan mencari tempat izin sekaligus tempat menitipkan motor. Kalau dari info di internet, minta izinnya ke pak Amin, tapi karena waktu bertanya penduduk mendapat info kalau ternyata di Sikatok juga ada buat tempat izinnya, jadinya ya balik ke Sikatok (malas mau nambah jalan lagi :p). Di Sikatok ini perizinannya di rumah pak Udin, rumahnya cuma beberapa meter (sekitar 20 m) dari perbatasan dengan Kabupaten Temanggung.

Setelah menata ini itu dan dikasih nomor hp bapaknya (yang ngasih ibunya sih), perjalanan pun dimulai. Beberapa menit kemudian, sampailah kami di pintu masuk kebun teh (sebenarnya bukan pintu, tapi jalan, dan jalannya ada banyak, nah yang buat pendakian lewat jalan yang paling besar). Dari awal kebun teh ini hanya mengikuti jalan makadam yang ada. Sebenarnya kita bisa naik motor atau mobil hingga ujung jalan tapi ya nanti bingung kalau ditinggal, kalau ada yang mau mengantar sampai sini boleh juga :p. Jalan yang dilewati meliuk-liuk tapi ikuti saja jalan yang ada, bila ada persimpangan ikuti saja intuisi, pokoknya yang naik dan kelihatan benar (waduh). Sebenarnya ada jalan cepat, yaitu lewat jalan di antara teh-teh, tapi kalau belum tahu atau pas malam hari ya lewat jalur normal saja deh daripada bingung.

Pegunungan Dieng (Bismo, Sikunir, Pakuwaja, Prau, dll)
Setelah sekitar 2 jam (kayaknya kurang malah) perjalanan lewat jalur normal dan jalan kaki, sampailah kita di bagian trek selanjutnya. Karena tidak adanya info mengenai jalurnya maka tim saya salah lewat jalur XD. Jalur yang tim saya lalui adalah jalur yang berada di ujung jalan makadam kebun teh, tapi jalur yang sebenarnya ada di punggungan sebelumnya, jadilah tim kami melalui jalur yang tidak jelas. Jalur yang kami lalui sepertinya adalah jalur pencari kayu tapi untungnya jalur ini tembus ke jalur utama, dan karena itulah kami tidak melalui POS III (loh tiba-tiba dah nyeritain POS III -_-;). Jalur setelah kebun teh ini berupa hutan pinus yang pinusnya pun jarang-jarang yang kemudian dilanjutkan daerah rerumputan terbuka terus sampai puncak (tiba-tiba dah sampai puncak).

Sebenarnya ketika cari info di internet  mengenai jalur pendakian lewat Sigedang, kita akan melihat watu susu dari gunung kembar ini (waduh ini cerita apaan sih XD). Tapi karena tidak adanya foto jadi saya hanya menerka-nerka. Oh iya setelah POS III, tidak ada tempat nge-camp kecuali di puncak. Waktu tempuh total perjalanan dari Sigedang lebih cepat dibandingkan lewat Kledung (waktu pastinya sekitar ng… pokoknya lebih cepat :p). Dan karena rute ini lebih sepi, jadinya lebih aman meninggalkan barang daripada lewat Kledung yang sering terjadi pencurian (katanya, saya belum pernah kejadian soalnya).

Watu Susu (?)
Puncak yang dicapai melalui jalur ini bukanlah puncah kawah seperti dari Kledung, tapi berada di tugu perbatasan Wonosobo –Temanggung, di sekitar ujung segoro wedi yang dekat dengan segoro banjaran. Untuk sampai ke kawah, maka kita harus memutar  atau intinya ke arah tenggara. Segoro wedi dan segoro banjaran sendiri berupa dataran yang cukup luas sehingga bisa dibuat menjadi beberapa lapangan bola (duh). Di segoro wedi terdapat suatu cerukan yang entah pas lewat kok terdapat bunga mawar yang entah itu apa (mungkin bekas kawah, karena pas cari-cari di internet gak nemuin apa itu).

Bekas Kawah (?)
Kawah Sindoro sendiri seperti semacam sumur dan bertingkat. Terdapat dua jalan untuk turun ke kawah (jalan lain bisa langsung lompat :p), jalan pertama yang sampai ke kawah bagian atas yang kemudian terdapat jalan turun lagi sampai ke bagian bawah, sedangkan yang satunya langsung ke bagian bawah. Biasanya, dulu kawah bagian bawah ini terisi oleh air dengan warna terlihat hijau dan terlihat batu-batu besar di dalamnya, tapi setelah peristiwa tahun 2012 lalu, bagian ini menjadi putih, batu-batunya pun terkubur di dalamnya dan ditambah keluarnya solfatara yang terlihat jelas. Ketika turun ke kawah hati-hati ya apalagi ketika hujan, pada awal tahun 2013 ini ada yang mati keracunan di kawah Sindoro. Ketika berjalan di atas kawah yang berwarna putih ini rasanya jemek-jemek, seperti berjalan di atas lumpur yang semi kering.

Segoro Wedi
Pas ngetik pos ini malah “berimajinasi” kalau watu susu itu seperti yang dipikirkan, di bawah watu susu itu ada awal dari sungai progo (maksudnya bukan mata air jumprit, tapi lebih ke atas lagi), jadi sungai progo itu adalah aliran “sesuatunya” Sindoro?!?! Dan mikir lagi kalau Jumprit itu ngeluarin air buat kali Progo, jadi mata air jumprit itu…… (jangan dipikirin tulisan bodoh ini :p).

Kalau ada yang mau ekspedisi maraton kayaknya asyik nih,dimulai dari naik Sumbing dari dusun Butuh, desa Temanggung, Kaliangkrik, Magelang, turun lewat dusun Garung, desa Butuh, Kalikajar, Wonosobo, lalu naik Sindoro lewat Kledung, Temanggung, turun via Sigedang, Kejajar (kecamatan sebelahnya namanya kecamatan Garung lho :p), Wonosobo, lanjut Prau via Patakbanteng atau Igirmranak, turun lewat Dieng, dan sekalian lanjut Slamet (nama-namanya kok banyak yang hampir sama cuma tingkatnya beda ya :p).

Sindoro's Crater, Now n' Then
NB: menurut orang sekitar, Sindoro itu cewek, dan Sumbing itu cowok.

Pesan Sponsor: Kalau nyalain api harap hati-hati ya, kasihan ni gunung sering banget kebakaran. Tanpa api aja bisa kebakaran apalagi ditambah api. Beberapa waktu setelah saya mendaki, gunung ini kebakaran, dan kebakarannya parah banget, dari bawah benar-benar kelihatan.

Minggu, 06 Januari 2013

Gua Jepang Parangtritis, 忘れ砦


Jarang-jarang update blog dalam waktu dekat-dekat. Gak apa-apa deh.

Sebenarnya awalnya mo nyeritain tempat yang ada di pulau “besi”, tapi agak malas buat cari-cari info tambahan  dari mbah gugel, diganti deh sama tempat yang ada di pulau “jewawut” aja :p. Tempat kali ini masih jarang dibahas di internet dan sepertinya juga jarang dikunjungi :p, kebanyakan orang pun bila ke Parangtritis tentu tahunya pantai.

Gua Jepang Parangtritis, sebenarnya sih menurut saya agak gak tepat judulnya, tapi karena kebanyakan orang nyebutnya seperti itu, ya mo gimana lagi. Gua Jepang ini terletak di antara dua Kabupaten di DIY, yaitu kabupaten Bantul tepatnya di Seloharjo, Pundong dan kabupaten Gunungkidul tepatnya di Girijati, Purwosari. Lho Parangtritis kan letaknya di kecamatan Kretek bukan Pundong? Ya karena lokasi Gua Jepang ini deket banget sama Parangtritis, dan Parangtritis lebih terkenal daripada nama-nama yang menjadi lokasi yang sebenarnya (argumen pribadi :p).

Jendela pengintaian
Lokasi gua Jepang ini terletak di bukit belakang Parangtritis, bukan bukit Watugupit tempat Paralayang lho, tapi bukit di sebelah utara Parangtritis. Kalau mau masuk Parantritis lewat jalur resmi sekali, sebelah kiri kita ada bukit yang ada makam syeh Bela Belu dan makam Maulana Maghribi, na letak gua Jepang ini ada di suatu tempat di bukit tersebut. Atau lebih tepatnya terletak pada koordinat sekitar 8°00′06″S 110°19′47″E

Sebenarnya gak pernah ada maksud untuk mengunjungi ni tempat, tapi entah kenapa tiba-tiba “nemu” di jalan :p. Awalnya sih saya memang mau main ke pantai sebentar tapi lewat jalan bukit, tapi ternyata saya lewat jalan yang salah (lebih tepatnya jalan yang tidak sesuai dengan rencana :p). Jalan paling mudah untuk menuju ke sini adalah lewat jalan Parangtritis, lalu sesaat setelah jembatan kali Opak langsung belok kiri. Perhatikan di sebelah kanan sampai nemu jalan aspal, jalan aspal pertama lewati saja karena untuk ke gua Jepang ini lewat jalan aspal yang kedua. Seharusnya saya lewat jalan aspal yang pertama tapi malah keblabasan :p. Sekalian saya saranin jangan lewat jalan bukit ini karena jalannya belak-belok, kanan kiri hutan, naik turun, jauh, sepi, jelek apalagi pas musim hujan bonus lumpur :p

Sungai Opak dari gua Jepang
Ikuti jalan aspal tersebut, naik terus sampai atas. Pemandangannya lumayan lah, bisa lihat jembatan kali Opak sama daerah nun jauh di sana :p. Pas lewat situ pas masuk kampung, saya agak kaget karena kok ada orang duduk di jalan, terus ada sapi diikat sampai berkeliaran di tengah jalan, ternyata oh ternyata jalan aspalnya habis diganti jalan makadam batu kapur dengan sisa-sisa sedikit aspal. Awalnya karena awal jalur ini adalah jalur menanjak membuat saya agak ragu dan pengin balik, tapi karena malu sama orang kampung yang tadi ngliatin (mungkin mikir ni orang ngapain ke sini :p) membuat saya melanjutkan perjalanan tanpa tahu ada apa di depan. Dan setelah melewati tugu batas kabupaten Bantul dan Gunungkidul dengan sedikit intuisi akhirnya malah sampai ke gua jepang ini :D.

Kendaraan paling tepat buat ke sini tentu saja pakai motor, atau pakai sepeda gunung kalau kuat, kalau pakai mobil ya walaupun jalannya sempit tapi kemungkinan berpapasan kecil tapi lebih baik jangan deh karena kalau ada apa apa bakal kesulitan. Jumlah gua Jepang ini katanya ada 19 buah, 18 di Bantul 1 di GK. Jalan untuk ke gua Jepang ini ada tiga, satu dari Pundong dan dua dari Purwosari.

Gua Jepang
Sebenarnya saya tidak terlalu tertarik dengan gua Jepang, karena setahu saya bentuk gua jepang dari luar itu cuma lubang biasa, tapi bentuk gua Jepang di sini ada semacam cerobong asapnya atau tempat mengintip atau apalah namanya, jadi malah lebih mirip tempat pertahanan (la memang buat pertahanan kan fungsinya :p) dan pengintaian atau lebih tepatnya disebut benteng seperti di film-film perang pasifik (sebenarnya gua Jepang itu kan bunker :p). Lokasi dari bunker-bunker ini terpisah-pisah tetapi tidak terlalu jauh. Dari lokasi gua jepang ini kita bisa melihat pemandangan yang lumayan bagus, kita bisa melihat pesisir selatan DIY, pegunungan Menoreh, bahkan gunung Sumbing bila cuaca cerah.

Walaupun lokasi tempat ini terasing, namun masih ada saja aksi vandalisme. Sepertinya tempat ini juga bagus buat melihat matahari terbenam, tapi ya kasihan nanti turunnya karena pastinya sepi, gelap, dan jalan ala kadarnya :p. Kalau ingin melihat melihat semua gua Jepang yang ada agak sulit karena beberapa ada yang benar-benar tersembunyi dan tidak ada petunjuk yang jelas mengenai lokasinya. Jalan pun kadang hanya berupa jalan setapak karena jalan sudah ditumbuhi rumput-rumput liar.

Japanese Bunker

Sabtu, 05 Januari 2013

Ancol, de plaats waar Progo verdeeld


Akhirnya nge-post lagi setelah sekian lama tidak nge-post di blog ini :D

Post tour jatim-nya kuhentikan dulu deh ganti dengan post yang seperti biasa aja lagi :p.

Hampir semua mahasiswa yang kuliah di Jogja tahu Selokan Mataram, maklum selokan ini mengalir di dekat kampus-kampus yang ada di sekitaran Jogja, seperti UGM dan UNY. Namun tidak semuanya tahu dari mana asal air selokan ini bermula. Ancol, itulah asal dari selokan ini. Entah kenapa dinamai Ancol saya juga tidak tahu. Setelah dicari melalui KBBI ternyata ancol adalah tanah yang menjorok ke laut; tanjung. Tapi untuk ancol yang ini sepertinya juga gak terlalu cocok, tanah yang menjorok ke sungai...

Ancol bisa dikatakan terletak di dua provinsi, Jateng dan DIY. Terletak di Banjaroya, Kalibawang, Kulonprogo untuk wilayah DIY dan Karangtalun, Ngluwar, Magelang untuk wilayah Jateng. Entah kenapa kebanyakan orang menyebut Ancol sebagai Ancol Bligo, padahal Bligo sendiri adalah desa di selatan Karangtalun. Sedangkan letak astronomisnya terletak pada daerah sekitar 7°39′51″S 110°16′01″E.

Untuk mencapai Ancol yang paling gampang ya mengikuti selokan mataram untuk jalur lain sebenarnya banyak tapi sulit menjelaskan dengan kata-kata :p (sebenarnya malas njelasin). Paling enak ke sini ya naik motor, naik sepeda sambil nyusurin selokan mataram juga asyik (padahal belum pernah), kalau naik mobil juga bisa tapi lebih baik jangan lewat selokan mataram, habis jalannya sempit, kalau naik angkot…. entah turun mana :p.

Hulu Selokan Mataram
Di Ancol terdapat jembatan Karangtalun yang melalui sungai Progo yang juga merupakan batas antara provinsi Jateng dan DIY. Di sebelah timur sungai Progo terdapat bendungan Karangtalun yang merupakan awal dari jaringan saluran induk mataram yang sekitar 3 km kemudian membelah menjadi saluran van der wijck ke selatan dan kanal Yoshiro ke timur. Perasaan ni nama Van Der Wijck ada di mana-mana. Kebanyakan sih orang-orang mainnya di sebelah timur ini. Sedangkan di sebelah barat terdapat intake kalibawang yang merupakan hulu dari saluran induk kalibawang yang entah ujungnya di mana (maklum pas nyusurin ini saluran mbelah jadi 2 terus jadi ada sal induk Donomulyo terus jalannya menghilang, kayaknya sih di kali Serang atau mungkin balik ke Progo lagi).

Sebenarnya sih pemandangan di Ancol ini gak ada yang istimewa, cuma lihat sungai, bendungan, saluran air, jadi ya gak istimewa banget. Namun di sisi sejarah tentu saja ni tempat banyak banget sejarahnya. Dimulai dari bendung Karangtalun dan saluran Van Der Wijck yang dibangun Belanda, kemudian kanal Yoshiro / selokan mataram yang dibangun Jepang, lalu saluran Kalibawang yang dibangun setelah kemerdekaan. Yang lebih unik lagi, ternyata ada game membangun selokan mataram. Ni Game saya temuin di Benteng Vredeburg, kita disuruh mbangun saluran air dari sungai Progo menuju sungai Opak melalui halangan-halangan yang ada, tapi ni game sulit maininnya dah dipencet-pencet gak mau juga (main sendiri aja di sana atau mungkin saya yang payah :p).

Saluran Kalibawang dan Sungai Progo
Bagian paling asyik di tempat ini menurut saya adalah ketika menuju intake Kalibawang. Untuk menuju tempat ini sebenarnya ada cara yang lebih mudah, tapi kurang seru. Jalan yang seru adalah melewati pembatas antara saluran Kalibawang dengan sungai Progo yang lebarnya sekitar 1.75 meter kayaknya dengan tinggi sekitar 3 meter, Jadi kalau jatuh ya sakit atau basah :p.Waktu itu dengan bodohnya mengendarai motor sampai ujungnya dan tempat enak buat muterin motornya tidak ada XD, jadi harus angkat-angkat buat muter, mana panjang motornya pas lagi. Intake Kalibawang ini diresmikan pada 8 April 1970 oleh Ir Sutami (bapak ini namanya juga di mana-mana).

Intake Kalibawang