Jumat, 19 Agustus 2011

Tour de Jatim, Day III, Part I: Papuma – Kalibaru


Hari ini diawali dengan kedinginan di surau. Melihat jam dan ternyata masih jam tiga pagi, langsung saja kuambil sb agar tidak kedinginan. Rencananya perjalanan dilanjutkan waktu subuh tiba dan alarm pun sudah diset pada jam setengah lima. Ternyata adzan subuh sudah berkumandang jam 4 pagi di Jember, langsung saja aku beres-beres merapikan barang. Karena masih disekitar sawah dan gelap, arah perjalanan pun hanya terus dilanjutkan saja ke timur hingga akhirnya menemukan perkampungan dan sampai di jalan besar. Di jalan besar ini aku hanya bolak-balik memastikan apakah jalannya benar atau salah. Ternyata jalan yang diambil adalah jalan yang benar. Di jalan kulihat di depan saja berkabut, pantas saja malamnya terasa dingin, secara dipikaranku sudah terpatri kalau dataran rendah itu panas :p.

Akhirnya sampai juga di pertigaan yang ada petunjuk arah ke pantai Papuma. Akan tetapi ketika berbelok jalannya ditutup palang. Karena kebingungan jalan ditutup, akhirnya mencari info di internet dan mendapat pencerahan apabila untuk menuju Papuma bisa masuk melalui Pantai Watu Ulo. Perjalanan dilanjutkan ke selatan dan akhirnya sampai ke Watu Ulo dan dilanjutkan ke Papuma.
Papuma
Pantai Watu Ulo merupakan pantai yang berada di sebelah timur pantai Papuma dan mempunyai pasir warna hitam. Sepertinya jalan yang tadi menunjuk ke Papuma adalah jalan langsung agar pengunjung tidak membayar retribusi dua kali untuk masuk ke Watu Ulo dan ke Papuma, tapi tentu saja karena masih pagi aku tidak membayar keduanya :D. Dari pos retribusi Papuma, jalan selanjutnya berupa jalan menanjak menaiki bukit dan nantinya turun ke pantai. Ketika menurun akan terlihat pemandangan pantai Papuma yang berada di sebelah timur.

Papuma terletak di kecamatan Ambulu dan Wuluhan, Kabupaten Jember. Papuma merupakan akronim dari Pasir Putih Malikan. Walau pantai di sebelahnya yaitu Watu Ulo berpasir hitam, namun Pantai Papuma ini berpasir putih. Papuma merupakan pantai yang berupa tanjung. Pantainya terletak di sebelah barat dan timur tanjung ini. Ketika sampai di area pantai sebelah timur, aku langsung saja ikutan parkir di dekat pantai mengikuti pengunjung lain. Saat itu kapal-kapal nelayan sedang berlabuh setelah menangkap ikan. Pagi itu pantai tersebut sudah ramai, bahkan ada banyak fotografer berdatangan. Membandingkan kamera orang-orang itu yang DSLR yang kadang dilengkapi perangkat tambahan dengan kameraku yang ya begitulah membuat agak sirik, apalagi waktu itu juga ada anak kecil yang menggunakan DSLR XD.

Kapal-kapal nelayan di sana cukup unik. Dibandingkan kapal-kapal di daerah DIY yang cuma berbentuk trapesium saja, kapal di daerah tersebut mempunyai hiasan-hiasan yang indah dengan bagian haluan lebih mengangkat daripada bagian buritan. Karena ingin mencari tempat yang cukup sepi, membuatku pergi menyusuri pantai hingga naik ke ujung tanjung yang di atasnya terdapat gardu pandang. Dari gardu pandang tersebut bisa dilihat pantai sebelah barat dan timur tanjung, bahkan sepertinya tempat ini cocok sekali untuk melihat matahari terbit dan terbenam yang jarang dimiliki pantai lain di selatan Jawa.
Kapal nelayan saat matahari terbit
Di lokasi ini karena masih ngantuk aku berniat untuk tidur, tapi karena mudah untuk didatangi orang, jadi mencari tempat disemak-semak sambil melihat laut untuk tidur. Di sini juga aku memakan buah yang dikasih di Kediri J. Beberapa saat kemudian setelah bangun, kulanjutkan menyusuri pantai yang sebelah barat. Pantai di sebelah barat lebih sepi daripada di sebelah timur, di pantai ini juga tidak ada kapal nelayan karena lebih banyak karangnya. Di pantai ini kadang terlihat monyet yang menikmati sampah yang dibuang manusia. Untungnya monyet-monyet ini masih penakut dan kebutuhan perutnya masih terjamin (Biasanya kalau hewan kelaparan sudah hilang rasa takutnya). Batu-batu karang karang di sini cukup bagus, karena batu-batunya besar-besar dan mungkin sudah bisa disebut pulau. Dari jogja samapai tempat ini ternyata sudah melebihi 500 km. 
Pulau Kajang
Di tempat ini terjadi kebodohan, kamera dengan lensa masih terbuka kuletakkan di dekat pasir, dan tiba-tiba kamera tersebut jatuh. Pasir yang masih semi basah itu penuh menutupi lensa kameraku dan menempel, tidaaaaaaaaak. Dengan hati-hati kubersihkan lensa dari pasir, tapi tetap saja ada pasir yang masuk ke balik lensa dan menempel di sana. Setelah perjuangan penuh keputus asaan hingga menggepuk-gepuk kamera, akhirnya pasir-pasir tersebut berhasil dibersihkan walau masih ada sedikit di bagian yang sulit. Karena matahari sudah cukup naik, akhirnya aku kembali ke tempat parkir. Melihat air laut yang cukup tenang membuatku ingin bermain air, tapi sayangnya tidak ada orang lain yang melakukannya jadi tidak bisa ikut-ikutan. Ketika akan keluar dengan motor, ternyata jalan yang tadi dimasuki sudah dihalang-halangi bambu, terpaksa susah payah melewatkan motor melalui parit.

Jalan keluar dari pantai ini sama seperti jalan masuknya, tapi nanti melewati jalan yang ketika pagi ditutup. Di jalan ini terlihat pemandangan yang cukup aneh. Di sepanjang jalan ditanami pohon jati baik di kiri ataupun di kanan jalan. Namun anehnya pohon jati sebelah kiri berdaun hijau, sedangkan sebelah kanan sudah meranggas terpisahkan oleh jalan, tentunya hal ini tidak terjadi di semua titik. Karena tidak membayar, jadi saya tidak tahu biaya retribusi ke pantai ini, bayar parkir pun tidak (mungkin standar tempat wisata). Perjalanan dilanjutkan ke arah Ambulu dan dilanjutkan ke arah Jember. Sepertinya jalan dari sini lebih mudah untuk mencapai pantai Papuma dan mungkin sudah ada petunjuk jelas, tidak seperti melewati sawah (-_-;). Saya sama sekali tidak melewati kota Jember karena langsung pakai jalan sidatan ke Banyuwangi. Padahal dua minggu setelah dari sini diadakan Jember Fashion Carnival yang kelihatannya lebih megah dari Solo Batik Carnival (padahal tidak nonton waktu ke Solo), karena pakaiannya lebih berjumbai-jumbai.
Pohon Jati
Jalan Jember – Banyuwangi awalnya biasa-biasa saja, tapi akhirnya kita akan melalui jalan menanjak berkelak-kelok dengan pinggiran hutan yang untungnya jalannya lebar. Sayangnya di jalan ini banyak pengemis yang meminta-minta seperti di daerah Alas Roban dan jalan Buntu – Banyumas. Yang meminta-minta sih kebanyakan yang wanita dengan membawa anaknya dan yang sudah tua. Kalau ngemis berjamaah gini melihatnya saja sudah memprihatinkan, padahal daerah lain yang masih sama pulaunya aja (ex: Gunungkidul) banyak wanita bahkan yang sudah tua berjalan jauh dengan membawa kayu kok malah di sini pada minta-minta, apa karena jalan tersebut jalan utama yang ramai kendaraan sehingga meminta-minta lebih menguntungkan daripada mengangkut kayu bakar? (maaf aku tidak berada di posisi mereka)

Di jalan ini juga pertama kalinya aku melihat terowongan kereta api walau cuma dari atas. Sepertinya itu adalah terowongan kereta satu-satunya di pulau Jawa (kalau ada yang lain tolong kasih tahu).  Di jalanan turun itu juga ada restaurant yang bernuansa kopi, tapi sepertinya agak mahal :p. Setelah turun, tempat pertama yang akan dilalui adalah Kalibaru. Di Kalibaru ini aku berhenti sejenak untuk melaksanakan sholat Jumat. Karena Banyuwangi merupakan salah satu kabupaten paling timur WIB makanya khotbah sholat Jumat sudah dimulai jam setengah dua belas dan berakhir jam dua belas siang.

Kamis, 18 Agustus 2011

Tour de Jatim, Day II: Kediri – Kelud – Jember


Hari kedua perjalanan diawali dengan berbincang-bincang dengan beberapa pemuda, selain pertanyaan klasik, pemuda itu menceritakan tentang mantan pacarnya yang ada di Jogja, selain itu juga menyarankan untuk pergi ke Puh Sarang. Setelah surfing, ternyata Puh Sarang ini merupakan semacam tempat untuk upacara keagamaan. Karena saya bukan pemeluk agama tersebut jadi buat apa saya pergi ke sana. Beberapa saat setelah pemuda itu pulang (entah pergi ke mana lagi), tiba-tiba datang tukang ojek yang menawari untuk naik ojek (tentunya ditolak). Tukang ojek itu bercerita tentang hidupnya yang sulit, ia butuh uang untuk anaknya yang mau masuk SMK. Katanya butuh Rp20 juta, padahal ia hanya ada Rp 5 juta (kok mahal banget ya). Setelah itu aku berusaha tidur ditemani nyamuk dan suara tikus. Beberapa jam kemudian bapak dan ibu yang tadi kembali lagi dan tidur di dekatku. Akhirnya setelah menunggu dengan kebosanan (dan pantat yang panas), adzan Subuh pun berkumandang dan warung di dekat situ sudah beres-beres, langsung saja aku bermaksud melanjutkan perjalanan.

Bapak-bapak yang tadi memberi petunjuk arah untuk sampai ke Gunung Kelud. Dan si Bapak itu juga menggunakan sebuah kosa kata bahasa daerah yang juga digunakan di daerahku untuk memanggil “kamu”. Di kabupatenku pun Cuma di sekitar kecamatanku yang menggunakan kata tersebut, ketika aku sekolah di kota kabupaten dan menggunakan kata tersebut, teman-temanku malah tertawa menganggap ndeso, semenjak itu kata tersebut jarang kugunakan. Ketika bertanya dengan teman dari daerah lain pun kata tersebut tidak ada dalam kosa kata mereka. Antara Kediri dengan kabupatenku padahal jaraknya cukup jauh, lalu kata tersebut kok bisa sampai ke daerahku ya tanpa digunakan di beberapa daerah di antaranya. Waktu berangkat ini aku melihat penunjuk arah ke hotel yang ternyata berada di dekat alon-alon, tapi malamnya tak terlihat hotel karena tertutup penjual makanan.
Anak Gunung Kelud
Perjalanan dilanjutkan dengan mengendarai motor pelan-pelan dengan maksud agar sampai Gunung Kelud sudah buka. Di sini untuk ke dua kalinya aku mengisi bahan bakar. Ketika melewati pabrik gula, tercium bau yang kurang sedap hasil sisa pengolahan (lagian pemutih gula menggunakan belerang). Perjalanan di awali dengan menuju kecamatan Wates (nama tempat ini ada di mana-mana) kemudian dilanjutkan naik menuju Kecamatan Ngancar dan menuju desa terakhir Desa Sugihwaras. Sesampainya di TPR, ternyata belum ada yang menjaga (lagian masih jam 6 kurang :p). Di dekat TPR terdapat rest area tapi tentu saja aku melanjutkan perjalanan yang ada. Jalan yang dilalui awalnya membelah perkebunan warga yang kebanyakan ditanami nanas. Jalan yang ada menanjak dan di beberapa tempat terdapat pasir dan lobang. Setelah beberapa saat, nantinya akan melewati hutan.

Beberapa kendaraan bahkan tidak kuat untuk sampai ke lokasi wisata gunung Kelud ini. Di titik terakhir ada yang menyewakan jasa ojek sampai ke lokasi tapi tentu saja waktu itu belum ada. Ketika berhenti untuk mengambil gambar, tiba-tiba muncul 4 orang wisatawan yang naik motor juga yang juga berhenti di tempatku berhenti, seorang bapak-bapak dengan seorang anaknya yang masih balita, dan dua orang pemuda (duh cowok semua). Karena aku sudah selesai beres-beres, aku akhirnya melanjutkan perjalanan naik. Di tengah jalan terdapat beberapa jembatan, ketika berhenti di tengah jembatan, ternyata bawahnya dalam sekali, namun tidak kelihatan karena tertutup puncak-puncak pohon. Dari jembatan ini juga sudah terlihat tempat parkir wisata. Setelah jembatan, jalan yang ada semakin menanjak, dan di ujung tanjakan nantinya terdapat gardu pandang yang bisa digunakan untuk melihat ke arah barat. Ada sebuah gardu pandang yang dilarang naik ke sana karena bawahnya sudah longsor.

Setelah beberapa saat kemudian ternyata oh ternyata gerbang masuknya masih tutup (wajar masih kepagian). Dari pada menunggu di tempat itu aku kembali ke lokasi gardu pandang untuk tiduran. Di tengah jalan aku melihat wisatawan lain yang datang (ada ceweknya). Sesampainya di gardu pandang ya hanya tiduran sambil berjemur. Di sekitar gardu pandang terdapat tiket masuk yang ternyata Rp 5000 / orang dan Rp 2000 / motor.
Tempat parkir dilihat dari jembatan
Jam 8 aku kembali ke tempat tujuan, dan untungnya sudah buka. Tempat parkirnya masih sepi hanya ada 6 motor termasuk punyaku, dan yang satu milik petugas. Gunung Kelud ini terletak di perbatasan Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Malang. Terdapat pertikaian pemilik gunung Kelud antara Kabuapaten Kediri dan Blitar (kok Kabupaten Malang gak ikutan ya), bahkan ketika pemkab Blitar mau berkunjung, dihalang-halangi oleh warga daerah Kediri, bahkan pakai pertikaian polisi segala (Untuk ke Gunung ini jalannya hanya dari wilayah Kediri). Terlepas kepemilikannya, gunung ini menyajikan wisata yang cukup menarik. Tentu saja  tempat yang paling menarik adalah kawahnya. Untuk menuju kawah kita harus melalui terowongan, namun waktu itu masih tutup.

Tempat menarik lainnya adalah Sungai Bladak. Sungai ini merupakan tempat saluran pembuangan air Gunung Kelud yang dibangun oleh Belanda (sejarahnya cari sendiri ya). Untuk menuju sungai ini kita harus menuruni ratusan anak tangga (tidak masalah, yang masalah adalah ketika naik kembali). Sesampainya di bawah, orang-orang yang sudah datang lebih awal sudah bermain air di sana (intinya orang-orang yang tadi ketemu). Karena dari kawah, sungai ini cukup hangat dan panas, dan mengandung belerang. Batu-batu sungainya pun berwarna kuning karena belerang ini. Karena sudah jauh-jauh (dan belum mandi) saya pun ikut bermain air,  ketika tinggal saya sendiri, saya pun mandi di pancuran dengan semi buka-bukaan (tentunya gak memakai kemben dan bisa gawat kalo tiba-tiba ada pengunjung lain yang datang). Setelah selesai dan melihat ujung saluran pembuangan, saya pun naik kembali dengan susah payah. Waktu itu terdapat sepasang muda-mudi di sungai Bladak dan tidak ada orang lain di sana (waduh bisa gawat) bahkan sesampainya di atas tidak ada orang lain yang turun selain mereka. Terdapat penunjuk arah dengan tulisan “air panas anak G Kelud” dan ada bahasa Inggrisnya juga “hot river of Kelud baby” (-_-;).
Sungai Bladak
Terowongan yang menghubungkan tempat parkir dengan kubah cukup panjang, mungkin sekitar 300 meter yang untungnya saat ini sudah ada penerangannya walau sebenarnya masih cukup gelap. Di dalam terowongan kadang terdapat ruang-ruang yang digunakan pekerja (zaman bahuelak) untuk istirahat, tapi sekarang kelihatan tergenang dan banyak sampah. Setelah keluar dari terowongan, bila ke kanan nantinya akan menuju ke Gunung Gajah Mungkur yang merupakan tempat panjat tebing. Bila ke kiri akan menuju ke kubah lava. Di kawah gunung Kelud ini tadinya terdapat danau kawah yang berwarna hijau yang airnya disalurkan ke sungai Bladak. Namun setelah letusan tahun 2007, danau tersebut menghilang dan digantikan oleh Kelud baby :p. Anak Gunung Kelud ini masih mengeluarkan gas dan pengunjung dilarang mendekatinya (padahal ketika lihat foto-fotonya fotografer di sana pengunjung malah pada berenang ketika masih ada danaunya).

Untuk mendekatinya kita harus menuruni tangga (tapi buat yang sudah malas, lihat dari atas juga gak terlalu beda jauh). Waktu itu terdapat kunjungan dari panti asuhan ke gunung ini, jadi di bawah sulit untuk mengambil foto (foto diri) karena anak panti asuhannya banyak. Lalu terbesit pikiran untuk naik ke gardu pandang tertinggi yang juga harus naik tangga (yang tentunya sudah membuat malas dahulu) untuk mengambil foto. Tak tahunya anak-anak panti asuhan itu juga pada ikutan naik (walah). Dibanding anak-anak tersebut tentu saja aku kalah cepat apalagi belum sarapan, belum tidur, bawa barang, dah capek naik dari sungai, panas, gak ada minum lagi, namun walau begitu tetap menjadi orang ketiga sampai di gardu pandang.
Gardu pandang Gunung Gajah Mungkur dan Gunung Sumbing
Di gardu pandang ternyata ada jalan menuju ke puncak tertinggi, pengin sih, tapi gak ada waktu mana sudah setengah sebelas. Walau belum ada 1800 mdpl, ternyata di gunung ini sudah terdapat edelweiss, walau ukurannya masih kecil-kecil, padahal gunung-gunung lain biasanya di atas 2000 mdpl. Walau anak-anak panti, herannya mereka ada yang punya handphone yang ada kameranya (wow). Di atas ya kerjaannya nunggu mereka turun dan untungnya ada yang ngajak ngobrol. Ditanyai pertanyaan klasik lagi, tapi ditambah dikira masih SMA :p (masih muda ternyata), padahal mbaknya yang nanya baru aja lulus SMA (dianggap lebih muda :p). Setelah beberapa lama, akhirnya mereka turun dan akhirnya aku ikutan turun (setelah foto tentunya). Waktu turun benar-benar menyenangkan, bahkan sepertinya ada yang heran kok aku bisa cepat (mau bilang lari gak mungkin soalnya berupa anak tangga).  Setelah ini aku melanjutkan perjalanan menuju arah Blitar.

Di daftar yang kubuat, tujuan selanjutnya adalah menuju candi Penataran. Jalannya sebenarnya bagus sih, tapi kadang terdapat jalan yang cukup menyeramkan. Di beberapa titik terdapat jembatan yang kanan kirinya tidak ada penghalangnya, memang sih tingginya paling dua meteran, tapi tetap saja ngeri apalagi jalannya agak bergelombang karena berupa cor-coran dengan ornamen (zzzzz) batu (mirip jalan macadam tapi dicor). Jembatannya sempit jadi harus saling menunggu karena lebarnya hanya cukup untuk satu truk kecil, dan tidak ada jarak antara jalan dengan pinggir jembatan (jembatan kan biasanya di sebelahnya terdapat trotoar lalu penghalang atau apalah namanya, na yang ini keduanya tidak ada sama sekali murni jalan saja).

Beberapa waktu kemudian sampai juga di wilayah Penataran, ternyata untuk lewat jalan tersebut perlu bayar retribusi (duh), dan tidak ada petunjuk mengenai lokasi candi tersebut (sudah malas mencari karena sudah kelamaan di Kelud) yang akhirnya melewati pos retribusi dari arah yang lain. Lagi-lagi ternyata candi itu letaknya agak masuk, hanya saja tidak kelihatan dari pinggir jalan, yang ada petunjuknya cuma kolam renang Penataran, dan candi yang terlihat cuma candi pemandian Penataran, sia-sia membayar retribusi. Akhirnya perjalanan dilanjutkan ke Blitar. Di tengah jalan ada cegatan polisi, padahal aku sudah pelan-pelan eh polisinya gak ada yang nyegat, ya nyelonong aja gak berhenti, padahal polisinya juga kadang dekat banget sama aku. Sesampainya di Blitar ya terus aja menuju ke arah Malang. Ketika melihat peta (setelah sampai kos) ternyata seharusnya aku melewati makamnya presiden pertama RI, tapi kok sama sekali gak melihatnya (zzzzz). Dan ketika melihat peta kabupaten Blitar dari situs resminya, kok kediamannya Anas Urbaningrum dicantumin di peta (gak penting banget).
Saluran pembuangan
Jalan Blitar – Malang cukup lebar jadi bisa agak cepat. Kadang terdapat rel yang terletak di pinggir jalan, waktu itu ada kereta yang juga berjalan, tapi jalannya super lambat (mengingatkanku pada perjalanan ke Pulau Sempu yang naik kereta dari Surabaya yang penuh sesak dan lambat banget). Sesampainya di Wlingi (ibukota kabupaten Blitar), tidak ada petunjuk arah yang jelas, jadi di tempat ini aku keblabasan dan harus balik lagi. Akhirnya beberapa saat kemudian sampai di SPBU Selorejo. Di sini terdapat rest area sehingga aku istirahat beberapa jam sambil nge-charge hp, sayangnya rest areanya banyak debunya dan tidak ada sapunya.

Beberapa saat kemudian perjalanan pun dilanjutkan. Menurut saran seorang teman, sebaiknya aku mampir ke Karangkates, eh ternyata terdapat persimpangan yang keduanya menunjuk ke Karangkates, yang satu lurus yang satu ke kanan bawah. Ternyata yang lurus akhirnya ke kanan juga lewat di atas jalan yang satunya. Jalan tersebut lebar dan sepi dan akhirnya akan sampai di perbatasan Blitar – Malang di dekat waduk Lahor, dan untuk mobil sepertinya harus bayar retribusi. Di dekat waduk terdapat pos retribusi yang entah kok bayarnya cuma Rp 500, waktu itu tak terlalu terdengar bapaknya ngomong apa jadi langsung aja gak bayar (-_-;). Arah selanjutnya adalah menuju Kepanjen yang merupakan ibukota Kabupaten Malang. Dari Kepanjen perjalanan dilanjutkan ke arah Gondanglegi, seorang temanku tinggal di kecamatan ini. Kepanjen – Gondanglegi paling cuma 10 km, tapi angkotnya mahal banget, Rp5000 per orang, padahal di Jakarta aja lebih murah. Di sekitar Gondanglegi terlihat banyak penduduk yang memakai sarung seperti orang pesantren, entah kebetulan atau memang begitu. Sebenarnya ada niatan untuk mampir ke rekan di sana, tapi setelah sms yang bilang selamat melanjutkan perjalanan membuatku batal menyambanginya.

Selanjutnya adalah menuju Turen yang di sana terdapat PT Pindad yang dilanjutkan ke Dampit. Dari Dampit jalan yang ada sudah berkelok-kelok dan kadang melewati tanjakan, apalagi hari sudah gelap. Jalan yang ada cukup gelap karena tidak ada penerangan, teman perjalanan ya cuma truk-truk saja, jadi terpaksa berada di belakang truk, ditambah lagi bensin juga semakin menipis. Setelah beberapa lama akhirnya menemukan SPBU di Tirtoyudo (Malang) tapi agak malas karena berada di seberang jalan hal ini dikarenakan nanti malah kehilangan teman perjalanan (yaitu truk). Beberapa waktu kemudian sampai juga di Kabupaten Lumajang, dan mengisi bensin untuk ketiga kalinya di Pronojiwo sekalian istirahat sambil corat-coret. Di tempat ini melihat mobil yang sepertinya enak buat petualangan jadi pengin punya mobil seperti itu (tapi lebih ingin mobilnya keluarga tonberry secara tu mobil bisa buat di air) walau sebenarnya kurang tertarik dengan mobil karena sering mabuk kalau naik mobil (-_-;). Sepertinya kalau siang jalan yang tadi dilewati pemandangannya cukup bagus, karena bakalan kelihatan gunung tertinggi di Pulau Jawa, yaitu Gunung Semeru.

Perjalanan masih dilanjutkan dan kadang tidak ada teman perjalanan yang mau mendampingi. Di suatu titik, yaitu Piket Nol (namanya aneh) akhirnya jalan yang ada berupa turunan. Sebenarnya di tempat ini ada warung, pengin juga berhenti untuk sekedar makan tapi ya lanjut terus. Jalan turunan dari Piket Nol cukup membosankan karena jalannya berkelok-kelok dengan pinggiran tebing dan hutan serta jalannya gelap dan sepertinya yang dilihat tidak berubah, menyebabkan rasanya dah hapal medannya padahal baru pertama kali lewat jalan tersebut (-_-;).

Akhirnya setelah turunan sampai juga di tempat yang ramai, yaitu Kecamatan Pasirian, namun setelah lewat tempat itu, jalannya sedang diperbaiki, jadi banyak debu dan pasir berterbangan.  Di tengah jalan ada petunjuk ke arah Jember jadi langsung saja melewati jalan itu daripada lewat Lumajang yang harus memutar terlebih dahulu tapi ujung-ujungnya aku malah pakai acara salah jalan segala. Jalan menuju Jember ternyata jalannya rusak banyak lubangnya, lubangnya gede-gede pula membuatku tidak bisa cepat-cepat yang akhirnya akan membaik setelah sampai di Yosowilangun. Setelah itu akhirnya memasuki Kabupaten Jember.

Memasuki kabupaten ini sudah mulai ada bibit-bibit ngantuk tapi pengin maksain tidur di lokasi tujuan saja yaitu Pantai Papuma. Perjalanan pun terbilang lambat walaupun jalannya sepi. Di beberapa titik terdapat perlintasan lori, jadi berpikir lorinya bisa dinaikin atau tidak. Perjalanan cuma dihiasi dengan pencarian masjid yang tidak berpagar agar bisa langsung masuk dan tidur di terasnya, namun walau sudah menemukannya tetap aja ditinggalkan. Akhirnya sampai di desa Puger yang merupakan desa nelayan, eh ternyata salah jalan, pantainya ada diseberang perbukitan sebelah timurnya puger. Kalau menurut google map versi map, terdapat jalan yang melewati bukit ini sampai ke Papuma, tapi tidak ditemukan jalan tersebut dan ketika dicek di kos dengan google map versi satelit ternyata jalan tersebut tidak ada tapi si google menganggapnya jalan (jangan 100% percaya dengan peta ya). Sehingga hal ini menyebabkanku harus melewati sawah yang gelap sendirian.
Terowongan
Pada awalnya melewati selatan bukit yang ternyata tambang buat semen dan dilanjutkan terus ke arah timur terus. Gara-gara masih berpikir tentang peta google (saat itu masih belum tahu) jadi pikirannya mencari jalan ke selatan. Tapi karena dah capek kok gak nemu-nemu ya terpaksa ke timur terus. Sempat ke timur terus tapi malah salah jalan, padahal ada orang yang lagi kumpul-kumpul di depan, langsung kumatikan motor biar gak dikira aneh-aneh dan akhirnya memutar balik. Akhirnya beberapa saat kemudian menemukan surau di tengah sawah. Sempat berpikir untuk lanjut tapi dipaksakan untuk berhenti. Di dekat surau tersebut terdapat sumur dan bangunan yang entah ada penghuninya atau tidak. Suraunya juga agak kurang terurus pintunya juga terbuka. Setelah motor dikunci dobel, langsung saja tidur tanpa memikirkan apapun seperti ular atau apalah.
Perjalanan melewati sawah benar-benar minim cahaya sampai-sampai langit terlihat sangat indah dengan bertaburan bintang-bintang penghiasnya. Sempat juga teringat cerita waktu KKN yang mengatakan kalau jalan di sawahnya ada yang angker, haha emang gue pikirin (hehe).

Rabu, 17 Agustus 2011

Tour de Jatim, Day I: Yogyakarta – Sedudo – Kediri

Sekedar sharing perjalanan paling geje yang pernah kulalui, tapi sangat berkesan. Hari keberangkatan tiba langsung saja dirasa bahwa perjalanan ini bakalan gagal. Bagaimana tidak, aku bangun agak telat sekitar jam 9 pagi dikarenakan semalaman menyusun rencana rute mana saja yang mau diambil, tempat mana saja yang ingin dikunjungi dalam waktu 6 hari, hari pertama ke mana saja, nginap di mana, dan seterusnya. Pada awalnya direncanakan berangkat jam 6 atau jam 7, tapi karena super ngantuk menyebabkan memanjangnya waktu tidur hingga jam 9. Setelah bangun saja langsung terpikir bahwa apa sebaiknya perjalanan ini ditunda satu minggu lagi, apalagi ditambah belum menata barang serta bersiap-siap. Dikarenakan sudah ngomong ke orang lain kalau hari itu mau main jadi mau tak mau harus nggeje entah ke mana. Terbesit juga untuk mengubah tujuan ke tempat-tempat yang lebih dekat tapi akhirnya hati ini mantap untuk melakukan perjalanan.

Waktu keberangkatan adalah pukul 10.00 WIB, motor sudah siap , cuaca hari itu cerah, gunung Merapi pun kelihatan indah. Ingin rasanya berhenti sejenak mengambil gambar tapi apa daya malas berhenti :p. Berdasarkan catatan yang kubuat malamnya, tempat pertama yang kunjungi seharusnya adalah Museum Trinil di Ngawi. Perjalanan Yogyakarta – Surakarta tak terasa terlewati karena jalannya lebar dan mulus jadi cukup berani menggunakan kecepatan seperti biasa walau temannya kendaraan besar. Namun jalur selanjutnya, yaitu jalur Solo – Sragen, merupakan jalur yang kurnag menyenangkan. Jalur yang dilewati adalah jalur yang sempit dengan temannya bus besar (apalagi ada bus “SK” yang terkenal ugal-ugalan :p)dan truk gandeng membuat sulit untuk bergerak cepat, apalagi hal yang sama juga terjadi dari arah berlawanan membuat sulit untuk menyalip (motor aja sulit, apalagi mobil).

Gunung Liman dan Gunung Wilis
Di daerah Sambungmacan, ketika akan memasuki wilayah Jawa Timur, jalan yang ada kembali lebar, dan jalan terlebar berada di wilayah Mantingan walaupun nantinya menyempit juga (saatnya kembali ke kecepatan semula). Sepanjang pinggir jalan di daerah Ngawi terdapat beragam oleh-oleh yang dijajakan, terutama jeruk Ngawi, namun yang paling aneh adalah ada yang menjual monyet di pinggir jalan (buat apa coba, topeng monyet, (-_-;)) dan itu ada di banyak titik. Setelah menempuh 3 jam perjalanan, akhirnya bensin yang ada menipis dan harus segera diisi lagi. Tempat pengisian pertama berada di wilayah Kecamatan Kedunggalar. SPBU di Kedunggalar ini sepertinya benar-benar tempat yang cocok untuk istirah. Di sekitar mushollanya banyak orang duduk-duduk istirahat, bahkan ada bule juga. Kamar mandi pun malah dijaga oleh penduduk sekitar, padahal biasanya di SPBU lain jarang banget ada yang jaga. Di perjalanan dari Solo hingga Ngawi ini Gunung Lawu pun terlihat berdiri tegap dan tidak kuambil gambarnya juga.

Museum Trinil berada di Kecamatan Kedunggalar, dulu waktu melewati jalan ini tidak terlihat tanda-tanda petunjuk ke museum ini (mungkin karena mengantuk). Dan ternyata petunjuk arahnya ukurannya cukup kecil seperti plang buatan anak KKN, dan Museum ini pun kulalui begitu saja karena sudah kesiangan (jam 1 sampai museum, keliling 1 jam lebih, kira-kira perjalanan sampai Sedudo 2 jam  tidak yakin kalau masih buka kecewa dah jauh-jauh malah tutup) dan berharap bisa dikunjungi waktu balik.

Perjalanan dilanjutkan ke Ngawi kemudian ke Caruban lalu ke Bagor. Kalau Mantingan – Ngawi ada yang jual monyet, di sepanjang jalan Caruban – Bagor banyak yang jual ikan, ikannya besar-besar pula. Hal ini dikarenakan terdapat waduk di pinggir jalan (lupa namanya). Di Bagor ini terdapat dua buah perlintasan kereta api sehingga ya harus berhenti kalau dapat jackpot. Dari Bagor perjalanan dilanjutkan ke arah Berbek yang nantinya menuju ke arah Kediri, untuk ke Sedudo sudah ada petunjuknya, tinggal ikuti saja. Di pinggir jalan ini terdapat Candi Lor, candi ini cukup eksotis karena di atas candi ini ditumbuhi pohon namun bentuk candinya sudah rusak (sayangnya gak kuambil gambarnya juga).

Jalan menuju ke Sedudo berupa jalan menanjak yang menuju kearah gunung Wilis dan Liman (gunungnya sebelahan). Tiket masuk ke Sedudo Rp 2000 per orang, Rp 1000 per motor, dan petugas retribusinya masih muda dan lumayan cantik (walah gak penting). Sedudo ini merupakan air terjun yang cukup tinggi. Sebenarnya selain Sedudo, terdapat air terjun lain di wilayah ini,juga terdapat situs sejarah, namun karena sudah sore jadi tidak sempat untuk menjelajahnya. Sesampai di tempat parkir langsung dibilangin kalau gerbang bawah tutup jam 5, padahal baru aja sampai.

Air Terjun Sedudo
Air terjun Sedudo terletak di desa Ngliman, kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk. Terletak pada ketinggian sekitar 1438 mdpl dan mempunyai tinggi sekitar 105 meter. Debit air di air terjun ini tidak terlalu besar, sehingga orang bisa mandi atau main air langsung di bawah air terjun ini. Bahkan airnya dibendung dan dibentuk semacam kolam kecil sehingga pengunjung bisa bermain air, dan ketika sudah hampir tutup bendungnya di buka sehingga kolamnya surut. Pas di sana ingin juga main air, tapi apa daya tidak ada baju ganti. Pas di sana ada mbak-mbak yang bermain air pakai baju putih, bajunya basah dan menjadi kelihatan dalamnya, malah di syuting sama temannya yang cowok (-_-;). Untuk ke air terjun ini dari parkiran harus menuruni tangga tapi tenang saja tidak bayak anak tangga yang harus dilalui.

Setelah dari Sedudo, perjalanan dilanjutkan ke Kediri, di tengah jalan sebelum keluar dari wilayah desa Ngliman, saya sempatkan berhenti sebentar untuk mengambil foto gunung Wilis dan Ngliman. Tiba-tiba ada seorang pemuda dan dua orang pemudi yang memberhentikan motornya di sekitar tempat saya berhenti. Setelah ngobrol sebentar dan mereka minta difoto, pemuda yang bernama mas Harnoko tersebut bilang, kalau mau ke Sedudo tinggal bilang aja ke petugas retribusinya mau ke rumahnya mas Harnoko, atau mbah x soalnya rumahnya setelah pos, jadi nggak usah bayar retribusi, mau serombongan juga boleh (doh). Setelah itu langsung turun gunung menuju ke Kediri.

Di jalan menuju Kediri di daerah Grogol, pas motor berjalan cukup kencang dengan depan belakang mobil dengan kecepatan sama, tiba-tiba bagian belakang moto oleng, wealah ada apa ini ban belakang bocor tanpa ada tanda-tanda kempes terlebih dahulu padahal sudah gelap. Terpaksa menuntun motor dan menyebabkan perasaan gak enak karena hari pertama saja sudah begini. Untungnya ada tempat menambal ban yang masih buka. Dan ternyata oh ternyata banku tertancap paku cukup besar. Ketika ngobrol dengan tukang tambalnya, terdapat kosa kata dalam bahasa Jawa yang kuketahui hanya ada di daerah tempat tinggalku tapi waktu itu masih ragu apa benar arti katanya sama dengan di daerahku.

Langsung saja setelah selesai menambal ban perjalanan kulanjutkan ke Kota Kediri. Tujuannya tentu saja alon-alon kota. Seandainya hari berikutnya tidak ke Gunung Kelud, tentu saja perjalanan sudah kulanjutkan karena belum terlalu malam. Melewati jembatan sungai Brantas di malam hari cukup menarik hati karena cukup indah tapi malas untuk berhenti. Setelah berkeliling kota Kediri, akhirnya alon-alonnya ketemu juga. Alon-alon kota Kediri tidak seperti alon-alon biasanya yang terdapat tanah cukup lapang, namun alon-alon ini lebih mirip taman kota. Di sebelah utara terdapat deretan tempat penjual makanan, dan di alon-alonnya banyak pedagang berbagai macam hal, padahal sudah dilarang berjualan. Ada yang menjual buku, mainan, pakaian, bahkan ada yang menjual sate bekicot yang kata tulisannya di situ merupakan khas Kediri (gak tahu kebenarannya khas atau tidak). Seperti di tempat-tempat lain, tempat ini juga tempat untuk mojok, bahkan yang sedang mojok ada yang diganggu pengemis yang minta-minta (hehe). Selain penjual, di alon-alon ini juga ada yang menyediakan permainan anak, seperti mobil-mobilan dan kereta anak. Keramaian di tempat ini berakhir ketika jam sudah menunjukkan pukul 21.00, semua penjual dan penyedia mainan anak beres-beres untuk meninggalkan tempat ini. Bahkan karena lamanya saya di tempat ini, sampai dicariin petugas parkir yang mau pulang (dah gitu bayar pula kalau tahu gitu datangnya setelah jam 9 saja). Setelah tempat ini sepi, hal yang mengerikan semakin banyak yang terlihat, tikus yang keluyuran sangat banyak, baik yang besar atau yang masih anak-anak. Sebenarnya waktu masih ramai juga sudah kelihatan tapi setelah sepi jadi semakin kelihatan apalagi pandangan semakin terbuka.

Menara Masjid Agung Kota Kediri
Niat awal adalah tidur di hotel ecek-ecek , malah gak kesampaian. Akhirnya malah merenung di pinggiran alon-alon. Di sampingku duduk seorang bapak dan seorang ibu yang entah hubungannya apa dan di agak jauh terdapat warung yang buka sampai pagi (bahkan bawa tv segala). Mungkin karena melihat aku yang kesepian, akhirnya kedua orang itu mengajak ngobrol. Aku dikasih kacang-kacangan (entah namanya apa padahal sering lihat yang jual) yang rasanya sebenarnya biasa saja tapi tetap saja dihabiskan. Ngobrolnya pun sebenarnya topik klasik, dari mana, mau ke mana, terus kaget, kok berani, dan seterusnya. Mendekati tengah malam kedua orang itu pergi entah ke mana, sebelum pergi aku dikasih apel, jeruk, dan pear (lumayan). Mereka meninggalkanku bersama tikus-tikus kota yang sering kali berlarian di bawah tempatku duduk (-_-;).

Bersambung